Ritual pemotongan jari sudah dilakukan sejak Zaman Batu, sekitar 50.000 hingga 100.000 tahun yang lalu. Itu dibuktikan dengan ditemukannya lukisan stensil di gua yang berupa cetakan tangan di seluruh dunia.
Berdasarkan penemuan yang ditemukan di Afrika, Eurasia, Oceania, dan Amerika mengungkapkan bahwa, 121 kelompok masyarakat yang terpisah secara konsisten menunjukkan hilangnya ruas jari yang sama. Jumlah jari yang hilang dalam lukisan bervariasi, mulai dari satu hingga empat ruas jari.
Uniknya, praktik memotong jari itu terus diwariskan turun temurun hingga hari ini, serta dilakukan untuk berbagai tujuan, baik sebagai hukuman, tindakan medis maupun ritual budaya.
Bagi Suku Dani, ritual potong jari merupakan simbol kesetiaan yang mendalam. Mereka akan segera memotong ruas jarinya, saat kehilangan anggota keluarga. Tradisi ini dinamakan Iki Palek.
Meskipun bagi orang awam terkesan mengerikan, tetapi bagi suku yang mendiami Lembah Baliem tersebut tidak ada cara lain untuk menunjukkan rasa kehilangannya. Rasa sakit itu merupakan lambang kesetiaan terhadap orang yang meninggal.
Mereka sadar betul jika ritual itu akan terasa sangat menyakitkan, mereka mau melakukan apapun atas nama cinta terhadap orang-orang terdekatnya.
Ritual Iki Palek hanya dilakukan oleh wanita tua saja dan itu berlaku ketika suami, anak atau kerabat dekatnya meninggal. Jumlah ruas jari yang terputus menandakan banyaknya keluarga yang meninggal.
Prosesi pemotonganya pun cukup mengerikan, mereka akan menggigit jarinya sampai putus, terkadang juga dilakukan dengan kapak atau pisau. Ritual itu sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka dan telah diwariskan turun temurun hingga saat ini.
Sedangkan di negeri Sakura, pada abad ke-18, hukuman potong jari adalah sebuah konsekuensi atas kesalahan besar dan juga sebagai bentuk permintaan maaf yang dilakukan oleh para Yakuza.
Yubitsume--secara bahasa berarti pemendekan jari--bermula dari kebiasaan berjudi para Yakuza. Jika orang yang bertaruh tidak dapat membayar uang setelah mengalami kekalahan, sebagai gantinya akan diberikan hukuman potong jari.
Dalam praktik Yubitsume, mereka memotong jarinya sendiri tanpa harus diminta atau harus dipotong oleh orang lain, karena jika dilakukan oleh orang lain maka itu termasuk hal yang memalukan. Bagian jari yang dipotong umumnya adalah ruas atas jari kelingking.
Tidak hanya sebatas itu, bahkan ketika seorang Yakuza keluar dari kelompoknya, maka dia harus memotong jarinya sendiri. Itu membuktikan bahwa menjadi Yakuza harus benar-benar totalitas.
Di negara-negara yang menganut hukum Syariah (Islam), hukuman potong tangan/jari sudah lazim diberlakukan. Otoritas Iran menganggap tindakan amputasi (potong jari/tangan) adalah cara terbaik mencegah pencurian, walaupun diprotes berbagai organisasi HAM internasional. Hukuman serupa juga dipraktikkan di Arab Saudi, Nigeria, dan Somalia.
Hukuman tersebut agaknya akan sulit untuk diterapkan di negeri ini, karena Indonesia tidak menganut sistem hukum Syariah menyeluruh.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa Kontinental, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan (Hindia Belanda).
Sedangkan hukuman potong jari/tangan tidak pernah tercantum dalam sistem hukum kita. Meskipun sebelumnya gagasan itu pernah menjadi polemik, mengingat maraknya kasus korupsi membuktikan hukuman yang ada selama ini belum cukup mampu membuat koruptor jera, sehingga wacana hukum potong tangan diharapkan menjadi shocktherapy.
Tidak adanya efek jera bukan hanya menyangkut jenis hukuman semata, karena nyaris tidak ada pelaku korupsi yang dituntut hukuman maksimal, vonis yang dijatuhkan hampir bisa dipastikan akan selalu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Lagi-lagi negara tidak berdaya menghadapi para koruptor.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa karena terjadi secara sistematik sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Namun faktanya, hukuman yang selama ini mereka terima sangat tidak luar biasa. Non sense!
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara. Bahkan, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan.
Tak hanya itu, di penjara pun mereka bisa mendapat fasilitas mewah, bahkan bisa leluasa keluar-masuk dengan berbagai alibi. Tentunya, ada 'harga' yang harus dibayar untuk mendapatkan privilese itu.
UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lapas menyebut salah satu fungsi penjara adalah memberikan efek jera. Namun, dalam konteks Napi kasus korupsi, hukuman penjara harus diakui gagal memberikan efek jera bagi pelakunya.
Ada sebuah gagasan menarik yang kita dapatkan dari hukuman potong jari ala Yakuza di atas, bahwa hukuman yang sama juga diterapkan bagi koruptor sebagai konsekuensi atas kesalahan besar dan juga bentuk permintaan maaf kepada masyarakat luas atas tindak korupsi yang mereka lakukan.
Stigma negatif yang akan ditimbulkan akibat ruas jari yang terpotong itu akan melekat sepanjang hidup, sekalipun mereka sudah keluar dari jeruji penjara, yang diharapkan juga akan memberikan efek jera sekaligus mempermalukan mereka.
Agar tidak berakhir sia-sia, ruas jari koruptor yang terpotong merupakan memorabilia autentik yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi untuk kemudian disimpan di museum khusus koruptor.
Maka dari itu, sudah selayaknya Negara mendirikan sebuah museum khusus koruptor, seperti halnya museum yang didirikan di kota Bangkok dan Kiev. Terlebih lagi korupsi telah menjadi sebuah budaya turun temurun layaknya ritual Iki Palek Suku Dani. Selain sebagai edukasi, museum tersebut juga bisa mendatangkan pundi-pundi uang untuk Negara.
Museum tersebut tidak hanya akan memajang foto, riwayat hidup dan kerugian negara yang ditimbulkan, melainkan juga ruas jari para koruptor.
Kehadiran Museum koruptor diharapkan juga akan menjadi peringatan untuk kita agar tidak melakukan korupsi serupa dan menjadi seorang koruptor itu sangat memalukan.Â
Dengan ini maka Indonesia dianggap perlu untuk menerapkan hukuman potong jari atau tangan, jika nantinya itu tidak juga mampu membuat koruptor jera, pertimbangkan juga untuk hukuman potong leher. Wassalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H