Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ritual Potong Jari, Cocok Diterapkan untuk Koruptor?

28 Mei 2020   10:35 Diperbarui: 28 Mei 2020   10:34 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi potong jari Suku Dani | archipelagos.id

Tidak hanya sebatas itu, bahkan ketika seorang Yakuza keluar dari kelompoknya, maka dia harus memotong jarinya sendiri. Itu membuktikan bahwa menjadi Yakuza harus benar-benar totalitas.

Di negara-negara yang menganut hukum Syariah (Islam), hukuman potong tangan/jari sudah lazim diberlakukan. Otoritas Iran menganggap tindakan amputasi (potong jari/tangan) adalah cara terbaik mencegah pencurian, walaupun diprotes berbagai organisasi HAM internasional. Hukuman serupa juga dipraktikkan di Arab Saudi, Nigeria, dan Somalia.

Hukuman tersebut agaknya akan sulit untuk diterapkan di negeri ini, karena Indonesia tidak menganut sistem hukum Syariah menyeluruh.

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa Kontinental, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan (Hindia Belanda).

Sedangkan hukuman potong jari/tangan tidak pernah tercantum dalam sistem hukum kita. Meskipun sebelumnya gagasan itu pernah menjadi polemik, mengingat maraknya kasus korupsi membuktikan hukuman yang ada selama ini belum cukup mampu membuat koruptor jera, sehingga wacana hukum potong tangan diharapkan menjadi shocktherapy.

Tidak adanya efek jera bukan hanya menyangkut jenis hukuman semata, karena nyaris tidak ada pelaku korupsi yang dituntut hukuman maksimal, vonis yang dijatuhkan hampir bisa dipastikan akan selalu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Lagi-lagi negara tidak berdaya menghadapi para koruptor.

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa karena terjadi secara sistematik sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Namun faktanya, hukuman yang selama ini mereka terima sangat tidak luar biasa. Non sense!

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara. Bahkan, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan.

Tak hanya itu, di penjara pun mereka bisa mendapat fasilitas mewah, bahkan bisa leluasa keluar-masuk dengan berbagai alibi. Tentunya, ada 'harga' yang harus dibayar untuk mendapatkan privilese itu.

UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lapas menyebut salah satu fungsi penjara adalah memberikan efek jera. Namun, dalam konteks Napi kasus korupsi, hukuman penjara harus diakui gagal memberikan efek jera bagi pelakunya.

Fenomena ekspresi koruptor Indonesia | Harianjogja.com
Fenomena ekspresi koruptor Indonesia | Harianjogja.com
Uniknya lagi, hanya di Indonesia bisa kita jumpai para koruptor cengar-cengir saat ditahan. Fenomena itu mencitrakan tidak adanya rasa penyesalan sedikit pun atas sebuah tindakan korupsi, sekaligus sebagai pertanda kita telah gagal mempermalukan koruptor. Sikap menebar senyuman seakan tanpa beban itu bisa melukai hati rakyat dua kali. Aksi mereka juga dianggap merendahkan wibawa hukum Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun