Tidak hanya sebatas itu, bahkan ketika seorang Yakuza keluar dari kelompoknya, maka dia harus memotong jarinya sendiri. Itu membuktikan bahwa menjadi Yakuza harus benar-benar totalitas.
Di negara-negara yang menganut hukum Syariah (Islam), hukuman potong tangan/jari sudah lazim diberlakukan. Otoritas Iran menganggap tindakan amputasi (potong jari/tangan) adalah cara terbaik mencegah pencurian, walaupun diprotes berbagai organisasi HAM internasional. Hukuman serupa juga dipraktikkan di Arab Saudi, Nigeria, dan Somalia.
Hukuman tersebut agaknya akan sulit untuk diterapkan di negeri ini, karena Indonesia tidak menganut sistem hukum Syariah menyeluruh.
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa Kontinental, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan (Hindia Belanda).
Sedangkan hukuman potong jari/tangan tidak pernah tercantum dalam sistem hukum kita. Meskipun sebelumnya gagasan itu pernah menjadi polemik, mengingat maraknya kasus korupsi membuktikan hukuman yang ada selama ini belum cukup mampu membuat koruptor jera, sehingga wacana hukum potong tangan diharapkan menjadi shocktherapy.
Tidak adanya efek jera bukan hanya menyangkut jenis hukuman semata, karena nyaris tidak ada pelaku korupsi yang dituntut hukuman maksimal, vonis yang dijatuhkan hampir bisa dipastikan akan selalu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Lagi-lagi negara tidak berdaya menghadapi para koruptor.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa karena terjadi secara sistematik sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Namun faktanya, hukuman yang selama ini mereka terima sangat tidak luar biasa. Non sense!
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2019, rata-rata hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor hanya 2 tahun 7 bulan pidana penjara. Bahkan, terdapat 54 terdakwa korupsi yang divonis bebas dan lepas oleh pengadilan.
Tak hanya itu, di penjara pun mereka bisa mendapat fasilitas mewah, bahkan bisa leluasa keluar-masuk dengan berbagai alibi. Tentunya, ada 'harga' yang harus dibayar untuk mendapatkan privilese itu.
UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lapas menyebut salah satu fungsi penjara adalah memberikan efek jera. Namun, dalam konteks Napi kasus korupsi, hukuman penjara harus diakui gagal memberikan efek jera bagi pelakunya.