Ada sebuah gagasan menarik yang kita dapatkan dari hukuman potong jari ala Yakuza di atas, bahwa hukuman yang sama juga diterapkan bagi koruptor sebagai konsekuensi atas kesalahan besar dan juga bentuk permintaan maaf kepada masyarakat luas atas tindak korupsi yang mereka lakukan.
Stigma negatif yang akan ditimbulkan akibat ruas jari yang terpotong itu akan melekat sepanjang hidup, sekalipun mereka sudah keluar dari jeruji penjara, yang diharapkan juga akan memberikan efek jera sekaligus mempermalukan mereka.
Agar tidak berakhir sia-sia, ruas jari koruptor yang terpotong merupakan memorabilia autentik yang memiliki nilai historis yang sangat tinggi untuk kemudian disimpan di museum khusus koruptor.
Maka dari itu, sudah selayaknya Negara mendirikan sebuah museum khusus koruptor, seperti halnya museum yang didirikan di kota Bangkok dan Kiev. Terlebih lagi korupsi telah menjadi sebuah budaya turun temurun layaknya ritual Iki Palek Suku Dani. Selain sebagai edukasi, museum tersebut juga bisa mendatangkan pundi-pundi uang untuk Negara.
Museum tersebut tidak hanya akan memajang foto, riwayat hidup dan kerugian negara yang ditimbulkan, melainkan juga ruas jari para koruptor.
Kehadiran Museum koruptor diharapkan juga akan menjadi peringatan untuk kita agar tidak melakukan korupsi serupa dan menjadi seorang koruptor itu sangat memalukan.Â
Dengan ini maka Indonesia dianggap perlu untuk menerapkan hukuman potong jari atau tangan, jika nantinya itu tidak juga mampu membuat koruptor jera, pertimbangkan juga untuk hukuman potong leher. Wassalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H