"Apa aku nggak dikasih kesempatan untuk berpikir dulu? Aku kan juga harus mengatur waktu biar urusan anak-anak juga kepegang."
Hendra tidak menjawab, melepas kaca matanya dan memandang tajam pada Puniawati.
"Yah, minimal kasih aku kesempatan untuk survey dulu Mas, sebelum memutuskan harus segera dibuka atau tidak."
"Itu adalah pemikiran orang yang malas dan tidak mau bekerja keras. Kamu sudah terlena dengan hidup nyaman rupanya."
"Aku kan juga harus ngurusin studio Mas." Menelan ludah.
"Ah, biasanya kamu bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang sama. Kenapa tiba-tiba sekarang apatis gitu?"
"Bukan apatis Mas. Sekarang lagi banyak rekaman dan event, nggak mungkin anak-anak aku lepas sendiri."
"Tutup aja studiomu itu kalau perlu."
Puniawati tersenyum dihangatkan, mengangguk pada suaminya yang segera pamit meninggalkan pembicaraan. Bayangan hitam itu semakin kuat menghunjam mata hatinya, terburai satu persatu mengabarkan kemelut berkepanjangan. Satu demi satu lukisannya semakin nyata, biru terangnya berganti mendung dan badai hitam.
"Harus bagaimana lagi caraku mengingatkan ya Allah?" Desahnya dalam kebisuan, mengawasi punggung suaminya lenyap dibalik pintu. "Kulihat lukisanMu semakin nyata dan mendekat. Apakah aku hanya boleh menyaksikan? Mengapa tidak Kau ijinkan aku menunjukkan lukisan itu pada suamiku?"
***