"Dara memang menyukaiku, tapi tidak mencintaiku. Dia hanya merasa nyaman bersamaku. Selain om Gunawan, aku orang yang selalu ada, saat dia butuh telinga yang mau mendengar. Aku yang selalu menemaninya. Dara hanya butuh orang yang bisa membuatnya nyaman, dan aku yakin kamu bisa melakukan itu." jawab Sena tanpa ekspresi. Â
   "Kok aku? Dia sudah nyaman dengan kamu, aku bukan siapa-siapa baginya!" Sena tertawa, kali ini terdengar tanpa beban.
   "Bukankah kamu mencintainya? Hanya orang bodoh yang tidak tahu perasaanmu padanya. Aku enggak tahu, kamu masih mau sama orang bodoh enggak?" Dahi Abimanyu mengerut, tidak paham maksud ucapan Sena. Sial, Sena malah tertawa lepas, sampai menarik perhatian pengunjung yang ada di sekitar kami. Andara juga ikut menatap mereka berdua, meski hanya sesaat.
   "Cinta memang mengubah segalanya. Termasuk mengubah orang secerdas kamu menjadi telmi (telat mikir). Hahaha..." Tawa Sena kembali membahana, lebih keras dari yang pertama. Abimanyu makin tidak paham apa yang terjadi di antara dua manusia bersahabat itu. Bahkan setelah Sena menjelaskan alasan-alasannya secara implisit, rahasia itu tetap terbungkus rapi dalam ingatannya.
    Abimanyu baru melangkah mendekati keduanya, tiba-tiba Andara mengangkat telepon. Ekspresinya berubah dengan cepat, semula tegang, lalu menengok ke arah gerbang, lalu melompat gembira. Sena yang ada di dekatnya hanya menggeleng, tidak mengerti. Begitu sambungan ditutup, gadis itu langsung berlari meninggalkan Sena.
   Dalam sekejap mata, Abimanyu disuguhi pemandangan yang membuat hatinya bergemuruh. Tanpa malu, gadis yang biasanya acuh itu menghambur dalam pelukan seorang laki-laki dewasa. Laki-laki itu mengelus rambut gadis pujaannya, lalu mencium keningnya lembut. Aksi itu menjadi tontonan gratis kerumunan murid yang ada di sana. Anehnya, Andara seperti tidak peduli.
    "Kok Bli, bisa sampai sini?" tanya Andara setelah laki-laki itu melepaskan pelukannya.
   "Kenapa? Enggak boleh?" Laki-laki balik bertanya dengan mata berkedip menggoda.
   "Boleh dong! Tapi... ah, sudahlah yang penting Bli Devandra sudah sampai di sini." kekehnya dengan binar yang tidak disembunyikan. Laki-laki yang dipanggil bli Devandra itu tersenyum, sambil mengacak rambut Andara.
   Pemandangan yang membuat dada Sena terasa nyeri. Entah kenapa, dia tidak suka melihat interaksi Andara dengan laki-laki dewasa yang tidak dikenalnya. Andara tidak pernah semanja itu dengannya. Selama ini, mereka hanya berbagi rasa melalui cerita, tanpa kontak fisik sedikit pun. Sena menoleh ke arah Abimanyu yang tengah membuang muka. Sepertinya, adik kelasnya itu merasakan hal yang sama. Tidak nyaman dengan apa yang mereka lihat, sementara Andara dan laki-laki itu terlihat santai.
   "Bisa pulang sekarang, atau masih ada kegiatan?" tanya laki-laki itu, sang gadis menggeleng.