Matematika itu asyik! Meski tidak sejago Jerome Polin, saya suka matematika dari kecil. Konsep dasar yang diajarkan bapak dan guru-guru saya zaman dulu cukup sederhana, pahami (bukan hanya hafalkan) dan perbanyak latihan. Hal ini sejalan dengan teori belajar yang diajarkan seorang filsuf China Konfusius, aku mendengar aku lupa, aku melihat aku ingat, aku melakukan aku bisa.  Â
   Oleh sebab itu, saya mulai dengan menanamkan rasa cinta pada mata pelajaran matematika, bukan rasa takut. Satu langkah kecil yang saya ambil adalah memberikan pemahaman teori-teori dasar yaitu tentang angka, operasi hitung, dan memperbanyak latihan. Saya minta anak-anak menuliskan lagi perkalian 1 -- 10 di buku masing-masing.Â
   Tugas yang sangat mudah untuk anak kelas 5, perkalian berurutan hanya perlu menambahkan hasil dengan angka yang mau dikalikan. Namun, hasil yang saya dapat sangat mengecewakan. Beberapa anak masing melakukan kesalahan berhitung.Â
Anak-anak yang masih salah menghitung, saya minta menghitung ulang sampai mendapatkan hasil yang benar. Anak yang sudah benar, saya beri tugas menulis perkalian dengan angka yang lebih besar.
   Langkah kedua, saya ajak anak-anak lebih banyak berlatih perkalian. Awalnya dengan menulis hasilnya di buku, meningkat ke papan tulis dengan cara adu cepat, lalu menjawab langsung alias mencongak. Sampai di sini, masih ada yang belum bisa juga. Saya tidak kehilangan harapan. Balik ke prinsip, aku melakukan, aku bisa, yuk!
   Akhirnya, saya mengajarkan cara menghitung dengan jari (jarimatika) seperti yang pernah diajarkan guru saya waktu berseragam putih merah seperti mereka. Dua tangan yang Tuhan kasih bisa digunakan untuk membantu menghitung perkalian di atas 5 yang sulit dihafal anak. Perlahan tapi pasti, anak-anak menikmati cara belajar dengan jarimatika ini. Apakah masalah selesai semudah itu? Belum, kami masih harus berjuang lebih keras lagi.   Â
   Langkah ketiga, saya mengajarkan anak-anak belajar dengan teman sebaya. Kalau dengan gurunya susah memahami, saya minta teman yang sudah lebih paham mengajar yang belum paham. Mungkin bahasa teman sebaya lebih mudah dipahami karena sama generasi.Â
Maklum gurunya sudah STW, gaya bahasa kami jelas berbeda. Cara ini cukup berhasil, beberapa anak dengan sukacita menjadi mentor buat teman yang lain. berbagi itu menyenangkan.
   Langkah keempat, saya memberikan jam pelajaran tambahan yaitu tiga kali seminggu selama 45 menit setelah jam pulang sekolah. Itu juga tidak mudah, bentrokan dengan jam ekstrakurikuler membuat saya harus mengatur waktu siapa yang harus belajar hari Senin, Selasa, dan Rabu.Â
Selain itu juga ada tantangan dari orang tua yang kurang kooperatif mendampingi putra putrinya saat mengerjakan tugas. Kenyataan ini membuat saya sedikit frustasi. Apalah gunanya saya berjuang keras mengajari anak-anak berhitung di sekolah, sementara tugas rumah tidak dikerjakan?
   Tugas selanjutnya yang tidak kalah sulit adalah menyadarkan orang tua arti penting tanggung jawab dan kedisiplinan bagi anak-anak kita. Secara berkala, saya berkoordinasi dengan orang tua, khususnya yang kemampuan berhitungnya masih belum bergerak naik.Â