"Ibu, jangan ajari kami matematika. Aku tidak bisa!" Nah lho, permintaan apa ini! "Ibu, kalau ngajar matematika jangan galak-galak ya, aku takut. Aku tidak bisa." Permintaan kedua terdengar lebih masuk akal, masih bisa dicarikan jalan keluar.Â
Permintaan pertama jelas tidak bisa saya kabulkan, pasalnya, sistem pembelajaran di Indonesia masih menganut paham semua mata pelajaran (mapel) yang sudah disiapkan pemerintah harus dipelajari, bukan sistem memilih mapel susai kesukaan seperti di negara-negara maju. Pertanyaannya, siapa yang menyampaikan pernyataan itu kepada saya?
    Pernyataan-pernyataan itu saya dengar saat pertama kali bertemu murid-murid baru saya di sebuah sekolah dasar. Anehnya yang banyak curhat tentang kesulitan mereka belajar matematika adalah anak-anak perempuan, biasanya anak perempuan lebih telaten belajar.Â
Sementara anak laki-laki hanya senyum-senyum saja, entah setuju atau tidak penyataan teman-temannya. Saya pun hanya bisa tersenyum miris menanggapi ketakutan mereka.
   Apakah benar matematika semenakutkan itu? Apakah benar mereka setidak bisa itu sampai harus merendahkan kemampuan mereka dalam berhitung? Oke, mari kita cermati perjalanan saya membedah ketakutan anak-anak tercinta. Â
   Saya memulai mengajar matematika dengan bertanya tentang bilangan. Di dalam pelajaran matematika sekolah dasar, diajarkan jenis-jenis bilangan, seperti bilangan asli, bilangan cacah, bilangan bulat, bilangan prima dan bilangan pecahan. Secara umum, mereka masih belum paham istilah bilangan yang saya sebutkan. Maka, mulailah kami belajar tentang bilangan-bilangan itu.
   Setelah itu, saya mengajak anak-anak mengaplikasikan operasi hitung dasar yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Sepemahaman saya, anak kelas 5 harus sudah hafal diluar kepala perkalian 1 -- 10 (perkalian dasar).Â
Menurut kurikulum, sejak kelas 2 mereka sudah belajar operasi hitung yang merupakan proses menjumlahkan bilangan yang sama dengan bilangan pengali. Fakta di lapangan membuat saya terhenyak, hampir setengah dari anak-anak yang saya hadapi saat itu belum mahir perkalian dasar tersebut.
   Tidak apa-apa, anak-anak tidak salah. Lalu apa yang salah?  Anak-anak kelas 5 adalah salah satu korban sistem pembelajaran kurang optimal pada masa pandemi. Tepat saat mereka di kelas 2 pandemi datang dan mengubah sistem pembelajaran kita dari tatap muka menjadi daring (dalam jaringan).Â
Saya sadar kenyataan itu. Saya tidak bermaksud menyalahkan pandemi akibat virus Corona itu. Saya juga tidak berniat menyalahkan guru kelas-kelas sebelumnya kurang efektif mengajar anak-anak.Â
   Kenyataan yang kita sadari sepenuhnya, pembelajaran daring mempunyai kesusahannya sendiri, baik bagi guru mau pun peserta didik.  Daripada mencari siapa yang bersalah, saya lebih suka mencari jalan keluar untuk masalah anak-anak agar mereka tidak lagi ketakutan dengan pelajaran matematika.