Mohon tunggu...
Verry Daud
Verry Daud Mohon Tunggu... profesional -

menuang rasa menuju asa dalam karya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beda! Dan Tidak Akan Pernah Sama!

27 Januari 2014   18:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:24 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Tasnim. Entah bagaimana asal- usulnya sehingga ia dipanggil Naning. Aku mengenalnya ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di Griya Putri, kos-kosan berlantai dua yang kutempati seminggu sebelum kedatangannya. Ia datang bersama kakak laki-lakinya, Fariz. Kesanku pertama kali, dia gadis yang manis dan ramah. Kakaknya begitu melindungi dan memperhatikan segala keperluannya sebagai mahasiswi baru. Ia menempati kamar di lantai dua sekamar sendiri, di sebelah kamarku. Kamar-kamar di lantai dua memang untuk ditempati seorang diri. Sedang lantai satu masing-masing kamar untuk berdua.  Tasnim mengambil jurusan Kedokteran Umum. Sedang aku di Ekonomi.

Tasnim berasal dari kota santri, Jombang. Dan, ternyata sejak usia lima tahun Tasnim sudah melalui hari-harinya di pesantren. Walaupun Tasnim seorang gadis yang ramah, dan banyak temannya yang hampir semua berhijab, aku tidak pernah tertarik untuk akrab dengannya. Entahlah, di mataku dia itu konvensional banget. Aku juga berhijab, tapi modis. Sedang Tasnim, hijabnya polos, warnanya monoton, kalau tidak hitam ya hitam banget.

Herannya, aku selalu memperhatikan dia. Sampai aku nyaris hafal jadwal kuliah Tasnim setiap harinya.

Lucunya, aku begitu mengikuti apa saja kegiatannya, baik di kampus atau di luar kampus.

Ajibnya, aku tak pernah ketinggalan mengintai obrolan-obrolannya bersama teman-temannya yang sedang bertandang ke tempatnya bila sedang di teras depan kamarnya. Wow, keren! Siapa yang keren? Ya, aku lah!

"Assalaamu'alaikum," aku mengetuk pintu kamarnya suatu sore.

"Wa'alaikum salam. Eh, kamu Mutia. Masuk, yuk," sapanya ramah membuka pintu. Aku bengong melihat wajahnya tanpa balutan hijab. Pangling. Aku pun masuk ke kamarnya. Rambutnya tergerai indah dan hitam lebat.

"Maaf, Ning. Mengganggu istirahatmu," kataku khawatir. Tasnim tersenyum sumringah, menandakan ia rela diganggu waktu istirahatnya.

"Kalau ndak salah ingat, kamu pernah cerita kalau kamu alumni pesantren, benar?"

"Ya, benar."

"Aku juga ada teman satu jurusan alumni pesantren. Katanya satu pesantren denganmu."

"Raishakah yang kamu maksud?'

"Ya."

"Iya benar. Raisha satu pesantren juga sekamar denganku di pesantren. Bagaimana kabar dia?"

"Sepertinya dia ndak ada bedanya dengan orang yang bukan dari pesantren."

"Maksudmu? "

"Ya seperti orang yang ndak punya ilmu dari pesantren."

Aku lihat bola mata jelinya membundar membelalak.

"Baju muslimahnya model-model. Hijabnya warna-warni, " aku melanjutkan.

"Walaupun kurang baik, itu bukan perkara yang diharamkan, " kilahnya, menanggapi uraianku. Seketika wajah seriusnya mengendur datar.

"Tapi celananya ketat, jilbabnya mini, sehingga kelihatan lekuk-lekuk payudaranya."

Kulihat matanya sendu, menyimpan sedih yang sangat. Bibir merah alaminya digigit. Hela nafasnya memanjang.

"Dia juga punya pacar, " lanjutku puas. Dalam hati aku merasa menang. Aku ingin membuatnya berkesimpulan bahwa pesantren atau bukan, tergantung orangnya. Aku mau dia menyetujui opiniku, bahwa tidak penting mendalami ilmu agama, bila akhirnya sama saja. Ya, sama saja!

"Kamu yakin Raisha pacaran?" Tasnim meragukan berita mengenai teman sealmamaternya itu.

"Raisha dengan bangga membertahuku, Ning. Nah, sama saja kan, dengan orang yang ndak punya ilmu pesantren?'

"Beda!" jawab Tasnim serius. Jidatnya berkerut. "Ilmunya suatu saat akan menyadarkannya."

Aku mencibir ucapannya sekaligus mengacungi jempol untuk ketenangannya menyikapi kabar buruk dariku.

"Lantas, kalau dia tidak juga sadar? " cetusku tak mau gagal untuk bisa membuatnya bilang 'sama'.

"Kalau Raisha tak juga sadar, maka ilmunya akan melipat gandakan dosanya, dan kelak di akherat akan memperberat azabnya."

Aku terhenyak! Ya, kali ini aku mati kutu atas jawaban Tasnim. Dan, akulah yang akhirnya merubah opiniku menjadi kesimpulan hakiki.

Beda! Dan tidak akan pernah sama orang berilmu dan yang tidak berilmu!

(Selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun