"Dia juga punya pacar, " lanjutku puas. Dalam hati aku merasa menang. Aku ingin membuatnya berkesimpulan bahwa pesantren atau bukan, tergantung orangnya. Aku mau dia menyetujui opiniku, bahwa tidak penting mendalami ilmu agama, bila akhirnya sama saja. Ya, sama saja!
"Kamu yakin Raisha pacaran?" Tasnim meragukan berita mengenai teman sealmamaternya itu.
"Raisha dengan bangga membertahuku, Ning. Nah, sama saja kan, dengan orang yang ndak punya ilmu pesantren?'
"Beda!" jawab Tasnim serius. Jidatnya berkerut. "Ilmunya suatu saat akan menyadarkannya."
Aku mencibir ucapannya sekaligus mengacungi jempol untuk ketenangannya menyikapi kabar buruk dariku.
"Lantas, kalau dia tidak juga sadar? " cetusku tak mau gagal untuk bisa membuatnya bilang 'sama'.
"Kalau Raisha tak juga sadar, maka ilmunya akan melipat gandakan dosanya, dan kelak di akherat akan memperberat azabnya."
Aku terhenyak! Ya, kali ini aku mati kutu atas jawaban Tasnim. Dan, akulah yang akhirnya merubah opiniku menjadi kesimpulan hakiki.
Beda! Dan tidak akan pernah sama orang berilmu dan yang tidak berilmu!
(Selesai)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H