"Kak Nara, itu foto mama kakak ya?" tanya Dina, salah satu murid kecilku.
"Iya, cantik kan?"
"Mama kakak di mana sekarang?"
Aku tersenyum, menahan air mata yang mulai menggenang. "Mama sudah di surga. Tapi dia selalu ada di sini," aku menunjuk dadaku, "dan di sini." Aku menunjuk perpustakaan kecil ini.
"Kalau Mama masih ada, dia pasti senang melihat perpustakaan ini. Dulu dia guru les privat lho, suka sekali mengajar anak-anak."
Dina mengangguk-angguk. "Pasti Mama kakak bangga deh, lihat Kak Nara sekarang jadi guru juga."
Aku memeluk Dina erat. Ya, kuharap Mama bangga. Kuharap dia tahu bahwa pelajaran terpenting dalam hidupku justru kudapat dari kepergiannya - bahwa mengejar mimpi tak berarti apa-apa jika kita kehilangan orang-orang yang kita cintai dalam prosesnya.
Setiap malam sebelum tidur, aku masih membaca surat-surat Mama. Kadang sambil tersenyum, lebih sering sambil menangis. Ada begitu banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Tentang penelitianku yang kini fokus mencari terapi untuk stroke. Tentang perpustakaan kecil yang semakin ramai dikunjungi. Tentang betapa aku merindukannya setiap hari.
Tapi aku tahu Mama mendengar. Dia selalu mendengar, sama seperti dulu saat aku masih kecil dan tak bisa tidur karena mimpi buruk. Mama akan duduk di sampingku, mengusap rambutku pelan sampai aku tertidur.
Sekarang, saat rindu itu datang terlalu mencekik, aku akan membuka jendela kamar, menatap langit malam, dan membisikkan, "Ma, aku kangen..."
Dan angin malam akan berhembus lembut, seolah membawa pelukan Mama untukku.