Air mataku tumpah. "Kenapa Mama yang minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf karena sudah jadi anak durhaka."
"Mama... bangga sama kamu, Nak." Suaranya terdengar semakin lemah. "Kejar... terus mimpimu..."
"Ma, please... jangan bicara dulu. Mama harus istirahat biar cepat sembuh."
Tapi Mama tetap melanjutkan. "Mama... sayang... ka..."
Bunyi monoton dari monitor jantung memenuhi ruangan. Garis lurus hijau yang menakutkan itu membuat kakiku lemas.Â
"MAMA!"Â
Para perawat dan dokter bergegas masuk. Aku didorong keluar ruangan sementara mereka berusaha menyelamatkan Mama. Air mataku mengalir deras. Bibirku terus menggumamkan doa.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Lima belas menit kemudian, dokter keluar dengan wajah muram.
"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin..."
Aku jatuh terduduk di lantai koridor rumah sakit. Mama pergi. Benar-benar pergi. Dan kata-kata terakhirnya adalah ungkapan cinta dan dukungan untukku, bukan kemarahan atau kekecewaan atas sikap egoisku selama ini.
***