Mama masih belum sadarkan diri sejak stroke yang menyerangnya kemarin. Dokter bilang ada penyumbatan pembuluh darah di otaknya. Mereka sudah melakukan yang terbaik, tapi semuanya tergantung kekuatan Mama untuk bertahan.
Aku mengusap air mata yang mulai menggenang. Mama selalu terlihat kuat di mataku. Bahkan setelah Papa meninggal lima tahun lalu, Mama tetap tegar menjalani hidup sendirian. Tak pernah mengeluh, selalu tersenyum meski aku tahu dia kesepian.
"Maaf Ma, aku jarang pulang..."Â
Memori masa kecil berputar di kepalaku. Mama yang selalu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan. Mama yang tak pernah absen mengantar-jemputku sekolah meski harus bolak-balik naik motor butut kami. Mama yang rela kerja sampingan mengajar les privat agar aku bisa kuliah di universitas negeri.
Tapi apa yang kulakukan untuk membalas semua pengorbanannya? Aku malah memilih pergi jauh, mengejar impian egoisku sendiri.
"Nara..."
Suara lemah itu membuatku tersentak. Mama membuka matanya perlahan.
"Ma! Mama sudah sadar?" Aku segera menekan tombol untuk memanggil perawat.
Mama tersenyum tipis. Bibirnya yang pucat bergerak-gerak mencoba bicara.
"Jangan dipaksakan dulu Ma, tunggu dokter datang ya..."
Tapi Mama menggeleng pelan. "Nara... maafin Mama..."