Mohon tunggu...
Kim Ikarose
Kim Ikarose Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ika Maya Rose, penulis aktif novel dan cerpen di berbagai platform menulis, selain itu hobby menggambar dan melukis. Suka membaca dalam kesendirian. Di luar kegiatan sebagai penulis., bekerja sebagai guru seni menggambar untuk anak-anak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ranting di Musim Hujan

3 Desember 2024   07:34 Diperbarui: 3 Desember 2024   07:39 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musim hujan tiba di sebuah perkampungan. Setiap sore, langit akan menggelap dan hujan deras mengguyur. Di antara rumah berderet rapi, terdapat dua tetangga yang memiliki gaya hidup berbeda: Pak Joko, seorang pensiunan pegawai negeri yang sangat teratur, dan Bu Ani, seorang ibu rumah tangga yang lebih santai dan artistik. Keduanya tidak pernah benar-benar akur, meskipun mereka tinggal bersebelahan selama bertahun-tahun.

Ketika itu, setelah hujan deras yang berlangsung hampir sepanjang hari, Pak Joko melihat halaman belakangnya banyak berhamburan ranting-ranting kecil yang jatuh dari pohon besar di halaman Bu Ani. Ia merasa sedikit kesal. "Seharusnya Bu Ani lebih memperhatikan kebersihan halamannya," pikirnya. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat tentang hal sepele itu.

Di sisi lain, Bu Ani sedang bingung dengan ranting-ranting yang berserakan di halaman belakangnya. Hujan yang terus turun membuatnya tidak bisa membakar ranting-ranting itu, dan ia tidak tahu harus dibuang ke mana. Dalam kebingungannya, ia memutuskan untuk membuang ranting-ranting itu ke halaman Pak Joko. "Biarkan dia yang membersihkan," gumamnya sambil tertawa kecil, merasa sedikit nakal.

Hari Pertama

Keesokan harinya, Pak Joko terkejut ketika menemukan ranting-ranting berserakan di halaman belakangnya. "Dari mana ini?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mengamati sekeliling dan melihat tidak ada tanda-tanda siapa pun yang bisa ia ajak bicara. Merasa sedikit terganggu, ia menghela napas dan kembali ke rutinitasnya.

Namun, ranting-ranting itu terus bertambah. Setiap hari, Bu Ani dengan sengaja membuang lebih banyak ranting ke halaman Pak Joko, merasa puas dengan tindakan tersebut. Ia mulai membayangkan bagaimana Pak Joko akan terkejut ketika mengetahui bahwa ranting-ranting itu bukan berasal dari halamannya.

 Hari Ketiga

Pak Joko akhirnya tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia memutuskan untuk bertanya kepada Bu Ani. "Bu Ani, apakah Ibu melihat ranting-ranting di halaman belakang saya?" tanyanya dengan nada ramah saat mereka bertemu di jalan setapak yang membelah perumahan.

Bu Ani, yang sedang mengamati tanaman di halamannya, berpura-pura tidak tahu. "Ranting? Tidak, Pak Joko. Mungkin itu dari pohon di sekitar sini," jawabnya dengan santai, sambil menyembunyikan senyuman di balik bibirnya.

Pak Joko merasa sedikit curiga, tetapi ia tidak ingin langsung menuduh. "Hmm, mungkin. Tapi sepertinya sudah cukup banyak. Saya harus membersihkannya," katanya sambil tersenyum.

 Hari Kelima

Situasi semakin memanas ketika Pak Joko memutuskan untuk membersihkan halaman belakangnya. Ia mengumpulkan semua ranting yang berserakan dan menyimpannya di sudut halaman. Namun, keesokan harinya, ia menemukan lebih banyak ranting yang muncul kembali. "Apa ini tidak ada habisnya?" pikirnya kesal.

Sementara itu, Bu Ani merasa sedikit bersalah. Ia melihat Pak Joko yang tampak kesal setiap kali membersihkan halaman. Namun, ia tidak ingin mengakui bahwa ia adalah penyebabnya. "Mungkin ini hanya bagian dari alam," pikirnya. "Lagipula, hujan terus turun, dan saya tidak bisa membakar atau membuangnya."

 Hari Kesepuluh

Setelah beberapa hari berlalu, Pak Joko memutuskan untuk menghadapi Bu Ani. Ia mengundangnya untuk minum teh di rumahnya, berharap bisa membicarakan masalah ini dengan baik. Saat mereka duduk di teras, Pak Joko mencoba hati-hati membuka percakapan. "Bu Ani, saya sudah membersihkan halaman belakang saya, tetapi ranting-ranting itu terus muncul. Anda tidak tahu dari mana asalnya, kan?" tanyanya sambil tersenyum.

Bu Ani, yang merasa terpojok, berusaha untuk tetap tenang. "Ah, mungkin itu angin yang membawanya. Kita tidak bisa mengontrol alam, Pak Joko," jawabnya sambil berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya.

Pak Joko merasa ada yang tidak beres. "Tapi, Bu Ani, saya rasa ini bukan hanya karena angin. Saya merasa seperti ada yang membuangnya dengan sengaja," ujarnya, suaranya sedikit meninggi.

Perdebatan semakin memanas, dan keduanya mulai saling menuduh. "Anda tidak bisa menyalahkan saya atas semua ini, Pak Joko! Saya tidak pernah membuang sampah di halaman Anda!" seru Bu Ani, suaranya mulai terdengar marah.

Pak Joko tidak mau kalah. "Tapi saya menemukan ranting-ranting ini setiap hari! Saya rasa Anda tidak peduli dengan kebersihan!" balasnya, wajahnya memerah.

Tetangga-tetangga lain mulai memperhatikan. Mereka berkumpul di sekitar pagar, mendengarkan pertikaian antara dua tetangga yang biasanya akur. Namun, alih-alih mencari solusi, keduanya malah semakin terjebak dalam perdebatan yang tidak ada habisnya.

Setelah beberapa menit berdebat, Pak Joko dan Bu Ani akhirnya terdiam. Keduanya saling memandang, merasa lelah dengan pertikaian yang tidak ada gunanya. Dalam keheningan itu, mereka menyadari betapa konyolnya perdebatan mereka. Namun, tidak ada yang mau mengalah.

Pak Joko mengambil langkah mundur, merasa tidak ingin melanjutkan perdebatan. "Baiklah, saya akan membersihkan halaman saya sendiri," ujarnya dengan nada dingin.

"Dan saya akan membuang ranting-ranting itu ke tempat yang lebih baik," jawab Bu Ani, tidak mau kalah.

Keduanya pun kembali ke rumah masing-masing, tanpa saling menyapa. Ranting-ranting itu tetap berserakan, menjadi penghalang antara mereka. 

Hari-hari berlalu, dan hujan terus turun. Ranting-ranting itu terus bertambah, tetapi keduanya tidak pernah lagi berbicara. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Setiap kali Pak Joko melihat ranting di halaman belakangnya, ia merasa kesal, sementara Bu Ani merasa bersalah, tetapi tidak ingin mengakui kesalahannya.

Suatu hari, saat hujan reda, Pak Joko memutuskan untuk membersihkan halamannya sekali lagi. Ia mengumpulkan ranting-ranting itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, ketika ia melihat ke arah halaman Bu Ani, ia melihat bahwa ranting-ranting itu telah menumpuk lebih banyak lagi.

Dalam hatinya, ia merasa bahwa perdebatan ini tidak akan pernah berakhir. Sementara itu, Bu Ani juga melihat halaman Pak Joko dan merasakan hal yang sama. Mereka berdua tinggal bersebelahan, tetapi tidak pernah saling menyapa, terjebak dalam lingkaran kesalahpahaman yang tak berujung.

Ranting-ranting itu, yang seharusnya menjadi bagian dari alam, kini menjadi simbol dari ketidakpuasan dan kesalahpahaman antara dua tetangga yang tidak pernah saling berbicara lagi. Dan di tengah hujan yang terus turun, mereka tetap hidup dalam kesunyian, terpisah oleh ranting-ranting yang menghalangi hubungan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun