"Dan saya akan membuang ranting-ranting itu ke tempat yang lebih baik," jawab Bu Ani, tidak mau kalah.
Keduanya pun kembali ke rumah masing-masing, tanpa saling menyapa. Ranting-ranting itu tetap berserakan, menjadi penghalang antara mereka.Â
Hari-hari berlalu, dan hujan terus turun. Ranting-ranting itu terus bertambah, tetapi keduanya tidak pernah lagi berbicara. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Setiap kali Pak Joko melihat ranting di halaman belakangnya, ia merasa kesal, sementara Bu Ani merasa bersalah, tetapi tidak ingin mengakui kesalahannya.
Suatu hari, saat hujan reda, Pak Joko memutuskan untuk membersihkan halamannya sekali lagi. Ia mengumpulkan ranting-ranting itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, ketika ia melihat ke arah halaman Bu Ani, ia melihat bahwa ranting-ranting itu telah menumpuk lebih banyak lagi.
Dalam hatinya, ia merasa bahwa perdebatan ini tidak akan pernah berakhir. Sementara itu, Bu Ani juga melihat halaman Pak Joko dan merasakan hal yang sama. Mereka berdua tinggal bersebelahan, tetapi tidak pernah saling menyapa, terjebak dalam lingkaran kesalahpahaman yang tak berujung.
Ranting-ranting itu, yang seharusnya menjadi bagian dari alam, kini menjadi simbol dari ketidakpuasan dan kesalahpahaman antara dua tetangga yang tidak pernah saling berbicara lagi. Dan di tengah hujan yang terus turun, mereka tetap hidup dalam kesunyian, terpisah oleh ranting-ranting yang menghalangi hubungan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H