Namun, di sisi negatif, pencitraan politik yang terlalu fokus pada popularitas di sosial media berpotensi memperburuk polarisasi politik. Algoritma sosial media, yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna, sering kali mempromosikan konten yang kontroversial atau provokatif karena jenis konten ini cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi (Harsono, 2024). Akibatnya, masyarakat sering kali hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan atau pandangan mereka sendiri, sehingga memperburuk polarisasi di masyarakat. Selain itu, politisi yang terlalu berfokus pada pencitraan dapat mengabaikan isu-isu penting yang memerlukan diskusi dan solusi yang mendalam. Hal ini dapat mengalihkan perhatian publik dari kebijakan dan visi pembangunan yang sebenarnya, yang seharusnya menjadi inti dari kampanye politik (Lestari, 2023). Dengan demikian, media sosial dapat menciptakan dinamika yang lebih menonjolkan citra dibandingkan substansi.
Ada pula risiko bahwa sosial media dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat atau hoaks, yang pada akhirnya merusak proses demokrasi. Dalam konteks politik, hoaks sering digunakan sebagai alat kampanye negatif untuk mendiskreditkan lawan politik. Kampanye negatif ini, yang sering kali tidak didukung oleh bukti faktual, dapat dengan mudah tersebar luas di media sosial, mengingat sifat viral dari platform tersebut (Yusuf, 2021). Akibatnya, masyarakat menjadi lebih sulit membedakan antara fakta dan opini, yang dapat menciptakan lingkungan politik yang penuh dengan konflik, ketidakpercayaan, dan ketidakpastian. Selain itu, dampak dari kampanye negatif ini dapat merusak reputasi kandidat tanpa memberikan ruang untuk klarifikasi yang memadai, sehingga memperburuk kualitas diskursus politik.
Di luar itu, fenomena "filter bubble" juga menjadi perhatian serius dalam konteks media sosial dan demokrasi. Algoritma sosial media cenderung menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna berdasarkan data aktivitas mereka, seperti riwayat pencarian atau interaksi sebelumnya (Saputra, 2024). Hal ini secara tidak langsung menciptakan lingkungan informasi yang terisolasi, di mana pengguna hanya terpapar pada sudut pandang yang mereka setujui, tanpa adanya paparan terhadap pandangan alternatif. Akibatnya, dialog yang konstruktif antara pendukung kandidat yang berbeda menjadi terhambat. Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat polarisasi politik, melemahkan semangat pluralisme, dan mengurangi kapasitas masyarakat untuk memahami kompleksitas isu-isu politik. Oleh karena itu, meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan partisipasi demokratis, risiko yang ditimbulkannya juga perlu diantisipasi dengan kebijakan dan edukasi digital yang memadai.
Kesimpulan
Kampanye Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden menunjukkan bagaimana pencitraan politik di era sosial media dapat membentuk persepsi publik secara signifikan. Dengan memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, Gibran berhasil membangun citra sebagai pemimpin muda yang dekat dengan rakyat (Firmansyah, 2023). Namun, keberhasilan ini juga menimbulkan tantangan bagi demokrasi, terutama dalam memastikan bahwa pencitraan tidak menggantikan substansi kebijakan (Wibowo, 2024).
Di masa depan, penting bagi politisi dan masyarakat untuk menemukan keseimbangan antara pencitraan dan substansi dalam komunikasi politik. Hanya dengan demikian, sosial media dapat menjadi alat yang memperkuat demokrasi, bukan sekadar panggung untuk pertarungan popularitas (Saputra, 2024).
Sebagai langkah selanjutnya, pemerintah dan lembaga terkait dapat memperkuat literasi digital di kalangan masyarakat untuk meminimalkan dampak negatif sosial media terhadap politik. Dengan masyarakat yang lebih kritis, diharapkan proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan lebih sehat dan inklusif, sekaligus membuka ruang bagi politik yang lebih berorientasi pada solusi nyata, bukan sekadar pencitraan (Rahmawati, 2023).
partisipasi masyarakat juga perlu didorong untuk tidak hanya mengandalkan sosial media dalam mengenali kandidat. Diskusi publik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dapat menjadi sarana untuk menggali lebih dalam visi, misi, dan program kerja kandidat. Dengan demikian, pemilu dapat menjadi ajang kompetisi gagasan, bukan sekadar kompetisi popularitas. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat institusi demokrasi Indonesia dan menciptakan budaya politik yang lebih sehat (Setiawan, 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H