Pendahuluan
Dalam beberapa dekade terakhir, sosial media telah menjadi arena utama dalam pencitraan politik. Di Indonesia, salah satu contoh fenomenal dari penggunaan media sosial untuk kampanye politik adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Sebagai seorang figur muda yang sebelumnya dikenal sebagai Wali Kota Solo, Gibran memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangun citra politik yang relevan dengan generasi milenial dan Gen Z. Artikel ini akan membahas bagaimana Gibran menggunakan sosial media untuk membangun pencitraan politiknya, dampaknya terhadap persepsi publik, dan implikasinya terhadap demokrasi di Indonesia (Effendy, 2020; Pratama, 2023).
Komunikasi politik di era digital telah mengalami transformasi besar-besaran. Kehadiran sosial media seperti Instagram, Twitter, dan TikTok memungkinkan politisi untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat tanpa melalui perantara media tradisional (Nugroho, 2019). Dalam konteks Indonesia, platform ini menjadi alat penting bagi politisi untuk memperluas basis pendukung mereka, terutama di kalangan pemilih muda yang sangat aktif di dunia digital (Setiawan, 2021).
Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi salah satu contoh politisi muda yang memanfaatkan sosial media untuk membangun citra sebagai pemimpin muda yang progresif dan dekat dengan rakyat. Langkahnya maju sebagai calon Wakil Presiden pada Pemilu 2024 menjadi ujian nyata bagaimana pencitraan melalui sosial media dapat memengaruhi persepsi publik dan hasil politik (Harsono, 2024).
Pembahasan
Pencitraan Politik Gibran di Sosial Media            Â
Strategi Konten yang Autentik dan Dekat dengan Rakyat
Gibran dikenal memanfaatkan Instagram dan TikTok untuk berbagi momen-momen kesehariannya, seperti berinteraksi dengan warga, mengunjungi pasar tradisional, atau menghadiri acara komunitas. Pendekatan ini menciptakan kesan bahwa ia adalah figur yang rendah hati dan peduli terhadap masyarakat (Putri, 2022). Video-video singkat yang menampilkan dialog santai dengan warga menjadi salah satu konten yang sering viral, memperkuat citranya sebagai "pemimpin rakyat" (Firmansyah, 2023).
Memanfaatkan Tren dan Meme untuk Menjangkau Pemilih Muda
Gibran juga piawai memanfaatkan tren populer di TikTok, termasuk penggunaan meme politik untuk menyampaikan pesan kampanye. Pendekatan ini tidak hanya membuat kampanyenya terasa relevan dengan generasi muda tetapi juga memperluas jangkauan pesan politiknya ke audiens yang lebih luas (Aditya, 2023). Misalnya, ia kerap menggunakan musik atau tantangan populer untuk menyisipkan pesan-pesan terkait visi-misinya (Wibowo, 2024).
Keterlibatan Aktif dengan Pengikut
Salah satu kekuatan Gibran di sosial media adalah keterlibatannya yang aktif dengan pengikut. Ia sering menjawab komentar dan pesan dari masyarakat, menunjukkan bahwa ia mendengarkan aspirasi mereka (Yusuf, 2021). Interaksi ini tidak hanya memperkuat hubungan emosional antara Gibran dan pendukungnya tetapi juga menciptakan kesan bahwa ia adalah politisi yang inklusif dan responsif (Lestari, 2023).
Kolaborasi dengan Influencer
Gibran sering berkolaborasi dengan influencer lokal dan nasional untuk meningkatkan visibilitas kampanyenya. Kolaborasi ini membantu Gibran menjangkau audiens yang mungkin tidak terjangkau melalui kanal politik tradisional (Rahmawati, 2023). Dengan menggandeng influencer yang memiliki kredibilitas tinggi di mata generasi muda, Gibran berhasil menciptakan narasi politik yang segar dan mudah diterima (Saputra, 2024).
Penerapan Teknologi dalam Kampanye
Selain penggunaan sosial media, Gibran juga memanfaatkan teknologi seperti data analytics untuk memahami kebutuhan pemilih. Dengan bantuan tim kampanye, ia mampu mengidentifikasi isu-isu utama yang relevan bagi masyarakat dan menyesuaikan strategi komunikasi politiknya. Ini mencerminkan kemampuan Gibran untuk menggabungkan inovasi teknologi dengan pendekatan politik tradisional, menciptakan kampanye yang lebih efektif dan efisien (Pratama, 2023).
Dampak terhadap Persepsi Publik
Pencitraan Gibran di sosial media telah memberikan dampak signifikan terhadap persepsi publik. Di satu sisi, ia berhasil membangun citra sebagai pemimpin muda yang energik, inovatif, dan peduli terhadap isu-isu lokal (Pratama, 2023). Namun, tidak sedikit juga kritik yang menyebut pencitraannya terlalu bergantung pada strategi media tanpa menunjukkan substansi program yang jelas (Wijaya, 2024).
Di kalangan milenial dan Gen Z, pendekatan Gibran terbukti efektif. Survei menunjukkan bahwa mayoritas pemilih muda merasa lebih dekat dengan politisi yang aktif di sosial media (Aditya, 2023). Namun, di sisi lain, kelompok konservatif sering mengkritik bahwa pencitraan di sosial media tidak selalu mencerminkan kualitas kepemimpinan yang sebenarnya (Nugroho, 2019).
Media massa juga mencatat bahwa gaya kampanye Gibran memunculkan sentimen campuran di kalangan pemilih urban dan rural. Sementara pemilih urban cenderung menyukai pendekatan inovatif, masyarakat di daerah pedesaan mungkin kurang terhubung dengan strategi digital, menunjukkan adanya kesenjangan digital dalam politik (Effendy, 2020).
Implikasi terhadap Demokrasi di Indonesia
Pencitraan politik melalui sosial media, seperti yang dilakukan Gibran, membawa dampak positif dan negatif terhadap demokrasi. Di sisi positif, sosial media memungkinkan masyarakat untuk lebih mengenal kandidat secara langsung tanpa melalui perantara media tradisional yang sering kali memiliki bias tertentu (Effendy, 2020). Hal ini memberi ruang bagi kandidat untuk menunjukkan sisi personal dan autentik mereka, yang dapat menciptakan hubungan emosional dengan pemilih. Lebih jauh, penggunaan media sosial juga memungkinkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau kritik secara langsung kepada kandidat, sehingga membangun interaksi dua arah yang lebih inklusif. Pencitraan yang autentik dan inklusif ini secara khusus dapat meningkatkan partisipasi politik, terutama di kalangan pemilih muda yang merasa lebih nyaman dengan format komunikasi digital yang cepat dan interaktif (Setiawan, 2021). Dengan demikian, media sosial telah menjadi alat penting dalam memperkuat keterlibatan warga dalam proses demokrasi.
Namun, di sisi negatif, pencitraan politik yang terlalu fokus pada popularitas di sosial media berpotensi memperburuk polarisasi politik. Algoritma sosial media, yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna, sering kali mempromosikan konten yang kontroversial atau provokatif karena jenis konten ini cenderung mendapatkan lebih banyak interaksi (Harsono, 2024). Akibatnya, masyarakat sering kali hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan atau pandangan mereka sendiri, sehingga memperburuk polarisasi di masyarakat. Selain itu, politisi yang terlalu berfokus pada pencitraan dapat mengabaikan isu-isu penting yang memerlukan diskusi dan solusi yang mendalam. Hal ini dapat mengalihkan perhatian publik dari kebijakan dan visi pembangunan yang sebenarnya, yang seharusnya menjadi inti dari kampanye politik (Lestari, 2023). Dengan demikian, media sosial dapat menciptakan dinamika yang lebih menonjolkan citra dibandingkan substansi.
Ada pula risiko bahwa sosial media dapat digunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat atau hoaks, yang pada akhirnya merusak proses demokrasi. Dalam konteks politik, hoaks sering digunakan sebagai alat kampanye negatif untuk mendiskreditkan lawan politik. Kampanye negatif ini, yang sering kali tidak didukung oleh bukti faktual, dapat dengan mudah tersebar luas di media sosial, mengingat sifat viral dari platform tersebut (Yusuf, 2021). Akibatnya, masyarakat menjadi lebih sulit membedakan antara fakta dan opini, yang dapat menciptakan lingkungan politik yang penuh dengan konflik, ketidakpercayaan, dan ketidakpastian. Selain itu, dampak dari kampanye negatif ini dapat merusak reputasi kandidat tanpa memberikan ruang untuk klarifikasi yang memadai, sehingga memperburuk kualitas diskursus politik.
Di luar itu, fenomena "filter bubble" juga menjadi perhatian serius dalam konteks media sosial dan demokrasi. Algoritma sosial media cenderung menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi pengguna berdasarkan data aktivitas mereka, seperti riwayat pencarian atau interaksi sebelumnya (Saputra, 2024). Hal ini secara tidak langsung menciptakan lingkungan informasi yang terisolasi, di mana pengguna hanya terpapar pada sudut pandang yang mereka setujui, tanpa adanya paparan terhadap pandangan alternatif. Akibatnya, dialog yang konstruktif antara pendukung kandidat yang berbeda menjadi terhambat. Dalam jangka panjang, hal ini memperkuat polarisasi politik, melemahkan semangat pluralisme, dan mengurangi kapasitas masyarakat untuk memahami kompleksitas isu-isu politik. Oleh karena itu, meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan partisipasi demokratis, risiko yang ditimbulkannya juga perlu diantisipasi dengan kebijakan dan edukasi digital yang memadai.
Kesimpulan
Kampanye Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden menunjukkan bagaimana pencitraan politik di era sosial media dapat membentuk persepsi publik secara signifikan. Dengan memanfaatkan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok, Gibran berhasil membangun citra sebagai pemimpin muda yang dekat dengan rakyat (Firmansyah, 2023). Namun, keberhasilan ini juga menimbulkan tantangan bagi demokrasi, terutama dalam memastikan bahwa pencitraan tidak menggantikan substansi kebijakan (Wibowo, 2024).
Di masa depan, penting bagi politisi dan masyarakat untuk menemukan keseimbangan antara pencitraan dan substansi dalam komunikasi politik. Hanya dengan demikian, sosial media dapat menjadi alat yang memperkuat demokrasi, bukan sekadar panggung untuk pertarungan popularitas (Saputra, 2024).
Sebagai langkah selanjutnya, pemerintah dan lembaga terkait dapat memperkuat literasi digital di kalangan masyarakat untuk meminimalkan dampak negatif sosial media terhadap politik. Dengan masyarakat yang lebih kritis, diharapkan proses demokrasi di Indonesia dapat berjalan lebih sehat dan inklusif, sekaligus membuka ruang bagi politik yang lebih berorientasi pada solusi nyata, bukan sekadar pencitraan (Rahmawati, 2023).
partisipasi masyarakat juga perlu didorong untuk tidak hanya mengandalkan sosial media dalam mengenali kandidat. Diskusi publik yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dapat menjadi sarana untuk menggali lebih dalam visi, misi, dan program kerja kandidat. Dengan demikian, pemilu dapat menjadi ajang kompetisi gagasan, bukan sekadar kompetisi popularitas. Dalam jangka panjang, hal ini akan memperkuat institusi demokrasi Indonesia dan menciptakan budaya politik yang lebih sehat (Setiawan, 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H