1. PENDAHULUAN
Dewasa ini, pelbagai wacana bid'ah banyak sekali muncul dan menjadi perbincangan hangat di zaman ini. "Itu tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabat, mereka hanya mengada-ngada" Itulah ucapan yang sering mereka lontarkan ketika memvonis bid'ah terhadap suatu amalan yang dilakukan seseorang. Biasanya, mereka adalah orang-orang yang tidak sependapat dengan amalan warga Sunni, yakni pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab dengan kelompoknya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyah. Dalih yang sering mereka katakan untuk menguatkan pendapatnya adalah potongan hadits Nabi yang berbunyi:
"Barang siapa yang mengada-ngada sesuatu yang tidak termasuk dalam urusan kami ini (agama) maka itu tertolak"
Dan hadits nabi:
"Dan setiap sesuatu yang dibuat-buat adalah bid'ah"
Padahal mengenai dua hadits di atas para ulama telah menjelaskan bahwa kedua hadits di atas dikembalikan pada masalah hukum meyakini sesuatu (amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah, bukan mutlak semua pembaharuan (dalam agama) karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat landasan ushul-nya dalam agama, atau terdapat contoh furui'yah-nya, maka diqiyaskanlah terhadapnya. [1] Dengan demikian, tidak semua pembaharuan dalam sebuah amalan itu bid'ah sebagaimana pemahaman secara kontekstual terhadap potongan hadits Nabi yang berbunyi:[2]
Â
Â
"Dan setiap yang baru (bid'ah) adalah sesat"
Â
Melihat pada amalan kaum Sunni yang sering mereka bid'ahkan adalah bentuk kegiatan yang sudah mengakar di masyarakat seperti tahlilan, peringatan Maulid Nabi, dan ziarah kubur dan masih banyak yang lainnya. Jika diteliti lagi, tahlilan yang dianggap sebagai bid'ah ternyata masih dalam rumpun syariat karena amalan yang dilakukan di dalamnya sama sekali tidak menyimpang dari agama seperti pembacaan surah Yasin. Namun, melihat banyaknya sebagian kaum Wahhabiyah yang menganggap kegiatan tersebut bid'ah merupakan polemik yang terus mereka gaungkan. Maka penulis tertarik untuk meneliti lagi bagaimana pandangan Imam Syafi'i terhadap amalan warga Nahdliyyin yang kebanyakan mengikuti Madzhab Syafi'i dan seringkali divonis bid'ah oleh kaum Wahhabiyah.
Â
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
- Biografi Singkat Imam Syafi'iÂ
Imam Syafi'i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.[3] Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah.[4] Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.[5]
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi'i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi'i. Kata Syafi'i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi'i ibn al-Saib. Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi'i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi'i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.[6]
- Konsep Bid'ah Perspektif Imam Syafi'i
Menurut Ibnu Mandzur bid'ah secara bahasa adalah berasal dari kata yakni sesuatu yang dibuat pertama kali. Bid'ah adalah sesuatu yang baru dan sesuatu yang diadakan dalam agama setelah sempurna. Menurut Abul Baqa' al-Kafawi, bid'ah adalah setiap perbuatan yang tidak dilakukan sebelumnya.[7]
Secara istilah, terdapat berbagai pengertian mengenai definisi bid'ah. Dalam memaknai kata "bid'ah" Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari mengutip pendapat Syekh Ahmad Zarruq al-Burnusi al-Fasi dalam Kitab 'Uddah al-Murid al-Sadiq di mana secara syariat bid'ah dimaknai sebagai memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama, baik bentuk maupun hakikatnya.[8] Syekh Zaruq mengutip sebuah hadits Nabi:Â
Â
Â
"Barang siapa yang mengada-ngada sesuatu yang tidak termasuk dalam urusan kami ini (agama) maka itu tertolak"
Â
Kemudian Syekh Zaruq juga memberikan penjelasan yang harus dipertimbangkan mengenai bid'ah, antara lain:
- Jika sebagian besar perkara baru tersebut didominasi oleh prinsip syariat dan ada landasannya maka tidak termasuk bid'ah.
- Mempertimbangkan kaidah para imam dan ulama terdahulu dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Jika segala aspek pada perkara baru tersebut bertentangan dengan syariat maka ditolak, jika sesuai dengan landasan ushulnya maka bisa diterima. Jika masih diperselisihkan manakah yang ushul dan furu' maka dikembalikan pada ushul.
- Menakar perkara baru tersebut dengan pertimbangan hukum (wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah).
Â
Menurut Imam Amir al-Shon'ani bid'ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh yang sebelumnya. Maksudnya adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara' melalui Alquran dan Sunnah. Ulama telah membaginya menjadi lima bagian:
Â
- Bid'ah wajib seperti menjaga ilmu-ilmu agama dengan membukukannya
- Bid'ah sunnah seperti membangun madrasah-madrasah
- Bid'ah mubah seperti berlebihan dalam mengumpulkan aneka makanan
- Bid'ah haram
- Bid'ah makruh. Keduanya (no. 4 & 5) sudah jelas contohnya.[9]
Â
Dalam kitab Manaqib As--Syafi'i milik Al-Baihaqi, tercatat pandangan dari Imam Syafi'i yang lebih luas terkait pembagian bid'ah menjadi dua bagian. Pertama, bid'ah adalah sesuatu yang baru yang menyalahi Alquran atau Sunnah atau ijma', hal ini disebut bid'ah dlalalah. Kedua, bid'ah adalah sesuatu yang yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Alquran, Sunnah dan ijma', dan itu disebut dengan bid'ah yang tidak tercela.[10]Â
Â
Definisi di atas selaras dengan pandangan Imam Syafi'i yang termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya milik Abu Na'im Al-Asbahani. Beliau
membagi bid'ah menjadi dua macam yaitu bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela. "...Bercerita kepada kami Harmalah bin Yahya ia berkata: aku mendengar Muhammad bin Idris As-Syafi'i berkata: bid'ah ada dua macam, bid'ah yang terpuji dan bid'ah yang tercela. Maka bid'ah yang selaras dengan sunnah maka itu terpuji, dan yang bertentangan dengan sunnah maka itu tercela".[11]Â
Â
Demikianlah pandangan Imam Syafi'i terkait bid'ah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bid'ah dalam pandangan Imam Syafi'i terbagi menjadi dua yakni bid'ah yang tercela (dlalalah) dan bid'ah yang tidak tercela (hasanah). Sehingga tidak semua hal baru yang dilakukan termasuk bid'ah sebagaimana pandangan para kaum Wahhabiyah yang memvonis semua bid'ah adalah sesat.Â
Â
- Amaliyah Warga Nahdliyyin
- TahlilanÂ
Tahlilan merupakan suatu kegiatan yang dikemas dengan beberapa serangkaian pembacaaan ayat Alquran, kalimat-kalimat Thayyibah seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Kegiatan ini sudah menjadi ciri khas warga Nahdhiyyin yang dilakukan pada hari-hari tertentu pasca kematian mayyit seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000 harinya. Tahlilan juga rutin dilakukan pada malam Jumat. Pahala dari bacaan-bacaan tersebut akan dihadiahkan untuk para arwah mayyit. Biasanya, setelah tahlilan keluarga mayyit akan menghidangkan makanan untuk dimakan atau dibawa pulang.
Dari sini, sebenarnya inti dari tahlilan adalah: pertama, menghadiahkan pahala bacaan Alquran untuk mayyit sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taymiyah dalam kitabnya Majmu'ah al-Fatawa. Ketika Ibnu Taymiyah ditanya mengenai bacaan Tasbih, Tahmid, Tahlil, dan Takbir yang dihadiahkan untuk mayyit apakah sampai atau tidak beliau menjawab sampai.[12] Kedua, mengkhususkan bacaan-bacaan tersebut pada waktu tertentu. Ketiga, sedekah untuk mayyit, berupa makanan yang disuguhkan untuk para pembaca tahlilan.
- Ziarah Kubur
Kaum Muslimin di Indonesia sering berziarah kubur. Saat itulah mereka membaca bagian-bagian tertentu Alquran seperti surat Al-Ikhlas, Mu'awidzatain, Yasin, Al-Baqarah dan lain sebagainya. Kaum muslimin Indonesia meyakini bahwa bacaan Alquran tersebut dapat membawa keberkahan dan manfaat bagi si ahli kubur. Biasanya, setelah membaca ayat Alquran, kaum muslimin berdoa agar pahala bacaan itu disampaikan kepada ahli kubur. Imam Syafi'i mengatakan "Aku suka andai Alqur'an dibacakan di samping kubur dan (pahalanya) didoakan untuk mayit, tak ada doa tertentu dalam waktu tersebut"[13].Â
Dari sini, ziarah kubur adalah salah satu bentuk amalan yang baik. Karena substansi dari ziarah kubur sebenarnya bukan mengunjungi kuburan dengan memohon kepada mayyit yang telah dikubur namun membacakan Alquran atau bacaan tertentu untuk si mayyit di samping kuburnya.
- Mauludan Â
Perayaan Maulid Nabi Muhammad pada bulan Rabiul Awal merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang dirayakan oleh mayoritas umat Islam. Di Indonesia, ada berbagai macam cara untuk menyambut hari kelahiran Nabi tersebut sesaui dengan daerahnya masing-masing. Mulai dari diadakannya perlombaaan seperti MQK, adzan, sholawat dan lain sebagainya. Adat di Bondowoso dan sekitarnya biasanya dikenal dengan tradisi "mulotan", orang-orang akan berbondong-bondong membawa makanan dan aneka buah ke masjid untuk dijadikan hidangan setelah prosesi serangkaian maulid selesai. Hal itu adalah bentuk rasa syukur sekaligus penghormatan atas kelahiran yang mulia, Nabi Muhammad.
Mengenai rangkaian acara Maulid, hampir tidak memiliki perbedaan di berbagai daerah. Didalamnya berisi pembacaan Tahlil, ayat Alquran, Sholawat dan doa serta ceramah agama. Mengenai hal ini Jalauddin Assuyuti dari kalangan Syafi'iyyah mengatakan "ia (peringatan Maulid Nabi) merupakan bid'ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala, sebab hal itu sebagai bentuk pengagungan pada kemuliaan Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wasallam dan ungkapan rasa bahagia akan kelahiran Nabi yang mulia"[14]
- Peringatan Haul
Sesuai dengan namanya "haul" yang bermakna satu tahun. Nama perayaan ini dibuat berdasarkan waktu dilaksanakannya karena dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Kegiatan ini biasanya dilakukan untuk mengenang para leluhur sanak famili yang telah meninggal. Di pesantren, kegiatan ini menjadi acara besar pesantren karena untuk memperingati hari wafatnya para guru besar dan penggagas pesantren. Sehingga semua keluarga dan santri wajib untuk menghadirinya. Kegiatan ini dilakukan disertai dengan selamatan arwah, mulai dari pembacaan khataman Alquran, Sholawat, Istighotsah dan bacaan-bacaan yang lain. Dalam hal ini, diriwayatkan dari seorang penduduk Madinah dari Suhail bin Abi Shalih dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimy, ia berkata : "Nabi Saw. mendatangi kuburan orang-orang yang mati syahid pada setiap awal tahun lalu beliau berdoa, 'semoga keselamatan senantiasa tercurahkan kepada kalian atas kesabaran kalian. Tempat kalian adalah sebaik-baiknya tempat kembali'." Periwayat hadits berkata, "Abu Bakar, Umar dan Utsman pun melakukan hal demikian.[15]
- KESIMPULAN
Dalam pandangan Imam Syafi'i bid'ah terbagi menjadi dua yakni bid'ah yang tercela (dlalalah) dan bid'ah yang tidak tercela (hasanah). Bid'ah dlalalah adalah perkara baru yang menyimpang dari ajaran atau prinsip-prinsip syariat sementara bid'ah hasanah adalah perkara baru yang tidak dipertentangkan oleh syariat. Dari uraian yang telah disampaikan di atas, kegiatan atau amaliyah warga Nahdhiyyin di atas tidak termasuk dalam pemahaman hadits Nabi yang dipahami secara tekstual yang artinya "setiap yang baru (bid'ah) menyesatkan, dan setiap yang menyesatkan adalah di neraka". Sehingga amaliyah warga Nahdhiyyin bisa dikategorikan ke dalam bid'ah hasanah dalam pandangan Imam Syafi'i.
[1] Muhammad Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah (Maktabah al-Turats al-Islami: Jombang, t.t.), hal. 6
[2] Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi, Shohih Muslim (Dar Ihya' al-Turats al-Arabiy: Beirut, t.t), juz 2, hal. 592
[3] Mustofa Muhammad asy-Syak'ah, Islam bi Laa Madzaahib, (Biarut: Dar al-Nahdah
al-'Arabiyyah), h. 349.
[4] Dirjen Lembaga Islam Depaq RI, Ensiklopedi Islam, (Depag RI: Jakarta), h. 326
[5] Abdur Rahman, Kodifikasi Hukum Islam, (Rineka Cipta: Jakarta, 1993), h. 159
[6] Moenawar Chalil, Biografi Serangkai Empat Imam Mazhab, (Bulan Bintang: Jakarta,
1996), h. 231
[7] Hassamuddin bin Musa Muhammad bin 'Afanah, Ittiba' la Ibtida', (Bait al-Muqaddas: Palestina, t.th.) hal. 22
[8] Muhammad Hasyim Asy'ari, Risalah Ahlu al-Sunnah Wa al-Jamaah (Maktabah al-Turats al-Islami: Jombang, t.th.), hal. 6
[9] Imam Amir al-Shon'ani, Subulussalam (t.d.) juz. 2, hal. 48
[10] Imam al-Hafidz al-Baihaqiy, Manaqib al-Imam Al-Syafi'i (Maktabah Dar al-Turats: Kairo) juz. 1, hal. 469
[11] Al-Hafidz Abi Na'im Ahmad bin Abdillah al-Ashbahaniy, Hilyatul Auliya Wa Thabaqot Al-Asfiya (Dar al-Kitab al-Arabi: t.t., t.th.) juz 9, hal. 113
[12] Ibnu Taymiyah, Majmu' Fatawa (t.d) juz 5, hal. 472
[13] Imam Syafi'i, al-Umm (Dar al-Makrifah: Beirut, t.th.) juz 1, hal. 322
[14] Jaluddin Assuyuti, al-Hawi Lil Fatawi (Dar al-Fikr: Lebanon, t.th.) juz 1, hal. 222
[15] Abu Bakar Abdur Razzaq al-Shon'ani, al-Mushannaf (Majlis Ilmi: Hindia, t.th.) juz 3, hal. 573
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H