Â
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
- Biografi Singkat Imam Syafi'iÂ
Imam Syafi'i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya.[3] Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) dibidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah.[4] Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.[5]
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi'i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi'i. Kata Syafi'i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi'i ibn al-Saib. Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi'i ibn al-Saib ibn Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah ibn al-Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi'i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW.[6]
- Konsep Bid'ah Perspektif Imam Syafi'i
Menurut Ibnu Mandzur bid'ah secara bahasa adalah berasal dari kata yakni sesuatu yang dibuat pertama kali. Bid'ah adalah sesuatu yang baru dan sesuatu yang diadakan dalam agama setelah sempurna. Menurut Abul Baqa' al-Kafawi, bid'ah adalah setiap perbuatan yang tidak dilakukan sebelumnya.[7]
Secara istilah, terdapat berbagai pengertian mengenai definisi bid'ah. Dalam memaknai kata "bid'ah" Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy'ari mengutip pendapat Syekh Ahmad Zarruq al-Burnusi al-Fasi dalam Kitab 'Uddah al-Murid al-Sadiq di mana secara syariat bid'ah dimaknai sebagai memperbaharui perkara dalam agama yang menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari agama, baik bentuk maupun hakikatnya.[8] Syekh Zaruq mengutip sebuah hadits Nabi:Â
Â
Â
"Barang siapa yang mengada-ngada sesuatu yang tidak termasuk dalam urusan kami ini (agama) maka itu tertolak"
Â
Kemudian Syekh Zaruq juga memberikan penjelasan yang harus dipertimbangkan mengenai bid'ah, antara lain:
- Jika sebagian besar perkara baru tersebut didominasi oleh prinsip syariat dan ada landasannya maka tidak termasuk bid'ah.
- Mempertimbangkan kaidah para imam dan ulama terdahulu dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Jika segala aspek pada perkara baru tersebut bertentangan dengan syariat maka ditolak, jika sesuai dengan landasan ushulnya maka bisa diterima. Jika masih diperselisihkan manakah yang ushul dan furu' maka dikembalikan pada ushul.
- Menakar perkara baru tersebut dengan pertimbangan hukum (wajib, sunnah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah).