Â
Menghindari deskripsi genre, Senyawa mencoba melampaui kategori musik itu sendiri melalui instrumentasi dan teknik vokal yang dipakai. Menabrak kaidah-kaidah bagaimana seharusnya vokalis berperan, Ruly Shabara mengeksplorasi berbagai bebunyian lewat karya-karyanya bersama Wukir Suryadi di Senyawa.
Menjadi line up di Syncronize Fest dan Sound From The Corner, nampaknya musik-musik sejenis seperti yang bernafaskan eksperimental mampu dan memiliki basis masa atau segmentasi pasarnya sendiri.
Sudah ada yang pernah nonton Senyawa? "Tonton dulu deh"
Sebuah bentangan perjalanan bunyi Senyawa di 12 negara dan 2 benua selama 3 bulan, menjadi contoh dedikasi, semangat mental bermusik sebagai musisi yang sudah sepatutnya dimiliki oleh para musisi-musisi lainnya.
19 Januari 2017, dalam interviewnya di Vice Indonesia, mereka mengungkapkan jika musik-musik Senyawa sebenarnya belum menjangkau bahasa sound yang mereka inginkan guna mempertegas karyanya dan dinikmati secara seksama ketika melakukan pertunjukan di Indonesia. Pertunjukan musik eksperimental jelas lebih cerewet terutama masalah sound. Disetiap pertunjukannya, tidak jarang mengalami benturan antara penerjemahan bahasa musik atau sound colour yang tidak sepenuhnya terdeliver kepada soundman/ sound engineer.
Apakah telinga kita siap untuk menerima perkembangan musik eksperimental? "Calling The New Gods" adalah karya paling ikonik untuk berkenalan dengan Senyawa.
Bentuk karya musik seperti apapun akan bergerak dengan sendirinya baik secara komunal maupun individu. Tidak harus sekarang, mungkin 10-20 tahun ke depan, Ruly Shabara dan Wukir Suryadi akan paling sering dibicarakan di meja-meja warung kopi ketika musik Indonesia memasuki era ekperimental. Itu yang mereka percaya hingga saat ini.
Poinnya, musik eksperimental tidak hanya berbicara mengenai komposisi-komposisi yang disajikan dan memanjakan telinga, melainkan ditekankan lebih kepada sebuah peristiwa musik dan proses perjalanan bunyi yang dikemas dan dipertontonkan. Musik hadir untuk musik itu sendiri.
Mari kita mundur sejenakÂ
Pernah dengar "Slamet Abdul Syukur" "Dedicace #1" & "Memet Chairul Slamet" "Menunggu Batu Bernyanyi" atau karya fenomenal dari John Cage "4.33" ? Mari sedikit berkenalan dengan mereka.
Dedicace #1 disusun oleh Slamet Abdul Syukur tahun 1935 dan dikonserkan pertama kali di Indonesia pada tahun 2001. (Sebelumnya sudah dipentaskan di Perancis, Itali, Jerman dan Austria) . "Menunggu Batu Bernyanyi" pada 13 tahun yang lalu dan "4.33" -Silent of Music pada tahun 2012 -- 2013. Jika menelaah dari 3 karya komposisi intrumental mereka, nampaknya persepsi bagaimana perjalanan bunyi eksperimental ini sepakat untuk mereka amini bersama.
Selain dinobatkan sebagai Bapak musik kontemporer dan eksperimental Indonesia, Slamet Abdul Syukur juga menjabat sebagai Dekan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), 2016 Slamet Abdul Syukur menerima Gelar Tanda Kehormatan Presiden Kelas Satyalancana Kebudayaan.Â
Prof. Memet Chairul Slamet merupakan Komposer dari grup Ethnic Ansamble "Gangsadewa" sekaligus Guru Besar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.Â
"Proses Kreatif itu harus dicapai melalui penalaran logika dan riset. Logika akan mengarahkan intuisi, dari intuisi, logika akan melahirkan dialog, dialog memunculkan ide, dan riset adalah sekat-sekat kesepakatan agar karya kita tidak nggerambyang kesana-kemari dan lebih afdol untuk kajian bersama."
 Itu yang masih saya ingat dari beliau.
John Cage menjadi pengampu theoritic and analitic of music di USC (University of Southern California) dan UCLA (University of California, Los Angeles). John Cage melahirkan banyak karya yang saat itu menjadi lelucon karena tidak relate, terkesan ngawur pada masanya. Hari ini, karya-karya John Cage menjadi line up di meja kajian akademis bangku-bangku perkuliahan musik yang sangat serius hingga didaulat sebagai Bapak Musik Ekserimental Dunia.
Fakta menarik, sebuah band metal "Dead Theory" pernah mengcover karya "4.33" Silence of Musik milik John Cage dengan yaa tidak melakukan apa-apa diatas panggung, persis seperti yang dilakukan John Cage saat membawakan "4.33" Silence of Musik. Musik itu bunyi, kok disuruh diam? Bagaimana pendapat teman-teman?
Sebuah catatan bagaimana keheningan musik itu dapat dinikmati, teman-teman bisa merujuk pada buku "Apa Itu Musik?" yang ditulis oleh Nadia Andjani atau buku The Sea karya John Banville. Jalan sunyi kesenian.
Stagnasi musik-musik yang hadir ditengah-tengah kita menjadi alasan utama jalur eksperimental mulai dilirik sedikit demi sedikit "Ruly & Wukir Senyawa".
Noise Bombing
Noise Bombing, adalah akar baru yang ditanam noiser eropa di Indonesia. Menjadi suar musik-musik noise di eropa, Europe Noise Bombing buka cabang di Indonesia dengan nama Jogja Noise Bombing. Kenapa harus Indonesia? Mungkin teman-teman ada yang bisa jelaskan?
Menggunakan tagline "Pamit Yang2an" atau Pamit Pacaran, sisi romantisme yang diusung oleh Jogja Noise Bombing menghadirkan sebuah keintiman antar sesama noiser. Mungkin begitulah yaa kalau dilihat dari taglinenya. Pertama kali diselenggarakan tahun 2010, Jogja Noise Bombing memantapkan eksistensi hingga tahun ke-13 di 2023 kemarin.Â
Sempat dibubarkan aparat ketika menggelar event pertamanya karena dianggap aksi ilegal dan urakan, kini Jogja Noise Bombing menjadi agenda tahunan dengan jumlah performance dan pengunjung yang semakin menasional dan memanca negara. Merambah ke bidang akademik, di 2010 pula, Independent Composer Comunity Yogyakarta menggelar Festival Musik Kontemporer & Instrumental di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Beda ruang, tapi 1 nafas nih dan keduanya masuk dalam kalender event tahunan Jogja / ARTJOG.Â
Lantas, bagaimana teman-teman mengejawantahkan  eksperimentalism dan izem izem lainnya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H