Di wajah Laila yang rupawan
Hamba-Mu cinta namun kehilangan Kehidupan palsu serupa kematian Hamba-Mu menyatu dengan bayangan Bayang Laila hilang ditelan kabut kebencian
Kau Tuhan Maha Cinta
Aku hamba mahatolol memuja Laila Bersimpuh menggadaikan dosa"
Lelaki itu melempar suratnya ke tengah laut, lalu memaki ombak yang bimbang dan membenturkan diri ke karang. Ketika ombak kembali ke tengah laut, ia tinggalkan sebilah bambu ke hadapan lelaki naif itu. Matanya berkaca-kaca sembari mengambil bambu itu dengan posisi berlutut dan berkata, "Tuhan langsung memberiku bingkisan."
Sesudah sedih, seduh sesedih sudahmu! Lelaki itu menancapkan bambunya di bibir pantai, ia mengajaknya bicara layaknya karib.
"Kau dikirim Tuhan untuk mendengar kisahku, dan saat kutancapkan kau di sini, waktu terhenti. Andai aku bisa memilih menghentikan waktu, aku ingin berhenti di dua Maret tahun ini. Sayang sekali, segala sesuatunya terus melaju tanpa henti. Kecuali satu ... cinta Laila yang berhenti."
Lelaki itu menggambar senyum Namira dengan bambu yang menjadi teman satu-satunya, pasir Ujung Senja menjadi kanvasnya, bayangan Laila menemani hari-harinya. Ia merasa menggambar Namira bersama Laila kekasihnya, ketika sang lelaki menggambar mata kiri Namira, Laila menggambar mata kanannya, hidung mungil Namira yang mancung membuat tongkat lelaki itu bertemu dengan tongkat Laila, terakhir ... lelaki itu menggambar senyum Namira dari sudut bibir yang cekungnya bagai sampan di tepi Kapuas. Ombak hadir menjadi penghapus senyum Namira dan seluruh kisah lelaki itu bersama Laila.Â
Ujung Senja menjadi saksi bahwa lelaki itu kehilangan segalanya dan kita menjadi orang paling gila yang menikmati cerita lelaki gila yang tergila-gila pada Laila.
______________Ujung Senja, 3 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H