Bagi Ujung Senja, kita adalah ufuk paling lapuk. Sebaris camar terbang meliuk, pekiknya mengusir kantuk yang sedari siang bertahta di pelupuk, mari ambil periuk lalu masukkan matahari senja; membungkuk, duduk, siapkan mangkuk. Mari berpesta semalam suntuk!
Dengarkan ceritaku seperti biasa! Ada lelaki memulung rindu paling ulung, ia mengais sisa jingga senja yang nyaris habis terkikis malam, gadis-gadis menjadi pencuri sekotak langit yang diperkecil seluas 6 inchi, lengkap dengan lembayung dan mentari yang sekarat diusir gulita.
"Kembalikan soreku!" teriak lelaki itu pada kerumunan di Ujung Senja.Â
"Dia gila," kata salah seorang gadis yang menjadikannya pesan berantai.
"Jika kalian tidak mengembalikan langit yang kalian curi, kuadukan pada Laila bahwa separuh keindahannya dikantongi gadis yang bercita-cita memiliki wajah Laila."
Sekelompok gadis menangkap lelaki itu dan melemparnya ke masa lalu. Tiba-tiba lelaki itu berada di shof pertama sholat Idul Fitri dengan pakaian serba putih beraroma Oud Bukhiyyah. Terdengar jelas sang Imam membaca Surat At-Takwir hingga akhir dengan irama Hijaz yang bersifat sedih dan mengharukan.
Seusai mendengar khutbah 'ied, tak terasa rida' putih yang melingkar di lehernya ternoda oleh air mata bercampur itsmid yang menetes sejak sholat di rakaat pertama, lalu ... ia usapkan sekalian seluruh wajahnya dan berharap Jibril tak tau bahwa ia menangis, naif memang, sebab air mata bercampur itsmid menjadikan rida'nya bernoda hitam. Ia pulang bersama bayangan bahwa ia hendak makan opor ayam dan lontong bersama keluarga kecilnya.
"Namira ...! Ayah pulang, Nak!" teriaknya penuh girang di depan rumah kosong, ilalang di sekeliling rumah mencapai setinggi dada, seperlima daun pintu bagian bawah terkikis oleh rayap, kaca jendela seluas 3 m2 terbelah membentuk diagonal hingga bekas botol-botol mirasantika terlihat tegap seolah mengisyaratkan hormat, dindingnya yang tak lagi putih, seakan melototi lelaki itu melalui tiga huruf familiar segitiga, garis bengkok dua cekung berlawanan, dan cekungan seperti anak TK menggambar mangkuk.
Ia menoleh ke sekeliling yang tiba-tiba menjadi cahaya putih seluruhnya kecuali rumah itu. Di sebalik cahaya putih itu, ada seberkas cinta menjelma Laila dan Namira saling kejar berebut cawan.
Lelaki itu kasihan pada Namira anaknya, ia menangkap sebelah sayap Laila dan merebut cawan di tangan Laila. Cawan jatuh dan menumpahkan isinya. Ya. Cawan itu berisi air mata yang menghapus kehadiran Namira.
Kenangan demi kenangan dibonsai membentuk duka paling kerdil, ia terus hidup di sanubari yang mengawini sepi.
Lelaki itu bersenandung lagu cicak-cicak di dinding kesukaan anaknya dengan irama Nahawand yang bersifat tenang, tentram, dan damai. Ia berharap dengan nyanyian itu, putrinya bahagia meski ayahnya nyaris gugur sebagai pahlawan yang terteb4s sangkur perpisahan.Â
"Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk,"
"Hap!" Suara Namira dan Laila kompak membuat lelaki itu menoleh ke arah anak di pangkuan istrinya, dilihatnya Namira tertawa kecil dan satu kecupan dari ibunya mendarat di pipi mungilnya. Anak istrinya perlahan hilang seperti transisi fade out di aplikasi edit video.Â
"Lalu terlelap. Selamat tidur panjang, Sayang!"
Lelaki itu mengecup nisan yang tertanam di atas gundukan kesedihan.
Seduh sebelum sedih! Kulanjutkan ceritanya.
Lelaki itu menulis surat untuk Tuhan, tintanya dari ampas kopi dan wangi hujan.Â
"Duhai Tuhan yang Esa-Nya tiada diduakan
Duhai Tuhan yang setia tanpa kawan Duhai Tuhan cinta tanpa kepalsuan
Duhai Tuhan yang sendiri tanpa kesepian Hamba-Mu ini satu dari sekian Melupakan, dilupakan, terlupakanÂ
Hamba-Mu setia tapi tertawan
Di wajah Laila yang rupawan
Hamba-Mu cinta namun kehilangan Kehidupan palsu serupa kematian Hamba-Mu menyatu dengan bayangan Bayang Laila hilang ditelan kabut kebencian
Kau Tuhan Maha Cinta
Aku hamba mahatolol memuja Laila Bersimpuh menggadaikan dosa"
Lelaki itu melempar suratnya ke tengah laut, lalu memaki ombak yang bimbang dan membenturkan diri ke karang. Ketika ombak kembali ke tengah laut, ia tinggalkan sebilah bambu ke hadapan lelaki naif itu. Matanya berkaca-kaca sembari mengambil bambu itu dengan posisi berlutut dan berkata, "Tuhan langsung memberiku bingkisan."
Sesudah sedih, seduh sesedih sudahmu! Lelaki itu menancapkan bambunya di bibir pantai, ia mengajaknya bicara layaknya karib.
"Kau dikirim Tuhan untuk mendengar kisahku, dan saat kutancapkan kau di sini, waktu terhenti. Andai aku bisa memilih menghentikan waktu, aku ingin berhenti di dua Maret tahun ini. Sayang sekali, segala sesuatunya terus melaju tanpa henti. Kecuali satu ... cinta Laila yang berhenti."
Lelaki itu menggambar senyum Namira dengan bambu yang menjadi teman satu-satunya, pasir Ujung Senja menjadi kanvasnya, bayangan Laila menemani hari-harinya. Ia merasa menggambar Namira bersama Laila kekasihnya, ketika sang lelaki menggambar mata kiri Namira, Laila menggambar mata kanannya, hidung mungil Namira yang mancung membuat tongkat lelaki itu bertemu dengan tongkat Laila, terakhir ... lelaki itu menggambar senyum Namira dari sudut bibir yang cekungnya bagai sampan di tepi Kapuas. Ombak hadir menjadi penghapus senyum Namira dan seluruh kisah lelaki itu bersama Laila.Â
Ujung Senja menjadi saksi bahwa lelaki itu kehilangan segalanya dan kita menjadi orang paling gila yang menikmati cerita lelaki gila yang tergila-gila pada Laila.
______________Ujung Senja, 3 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H