Mohon tunggu...
Kiki Rizki Larasati
Kiki Rizki Larasati Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPNVJ

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UPNVJ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Krisis Demokrasi Membuat K-Popers Ikut Demonstrasi!

8 November 2020   12:35 Diperbarui: 8 November 2020   12:52 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sebagian orang merasakan bahwa K-Popers bisa menjadi pihak kuat yang dapat menciptakan potensi penunggangan politik atau keuntungan lainnya, merespon hal tersebut Priyono mengatakan untuk menghindarinya salah satunya dengan mengutarakan pendapat secara mandiri dan netral.

Berangkat dari bentuk negara Indonesia yang demokratis, menurutnya wajar saja jika mengkritik, karena konstitusi menjamin hal tersebut yang tidak mengenal identitas pribadi seseorang begitupun K-Popers.

"Orang-orang dapat melihat kritikan yang dilakukan K-Popers ataupun seseorang independen atau tidak itu bisa terlihat. Kritikan dilontarkan adalah hal yang dewasa, saya yakin K-Popers bukan orang yang bodoh buktinya mereka bisa mempunyai informasi-informasi yang terkadang saya sendiri belum tahu," jelasnya.

Partisipasi K-Popers terhadap Omnibus Law tidak terlepas dari dunia hiburan yang identik dengan generasi milenial. Menurutnya pada masa pandemi seperti ini Indonesia memerlukan manajemen krisis, dimana strategi komunikasi dari pemerintah hal ini dianggap masyarakat minim transparansi terkait omnibus law kemarin dari pemerintah.

"Yang menyebabkan kpop akhirnya ikut melihat fenomena itu ya karena UU CIPTAKER itu tidak dilakukan secara transparansi. Dari sisi proses pembuatannya pun tidak sehat. Karena strategi komunikasi yang lemah, sehingga membentuk persepsi dan masyarakat semakin tidak percaya," jelasnya.

Ia juga merasakan hal tersebut semakin meluap, penyampaiannya tidak lepas dari peran media sosial. Terlebih demonstrasi sulit dilakukan oleh sebagian orang melalui secara langsung, sehingga media sosial menjadi alternatif mudah seseorang berkontribusi menyampaikan pendapatnya.

Menurutnya hal tersebut menjadi sebuah strategi komunikasi baru untuk menyuarakan penolakan akan Omnibus Law, "Namun kuat-kuatnya strategi komunikasi yang tidak benar dapat dengan mudah dikalahkan dengan strategi komunikasi yang benar tanpa berpihak pada penguasa dan kita bela negara dengan melakukan kebenaran," jelasnya.

Dalam menyampaikan pendapat melalui media sosial menurut Priyono sudah ada batasan-batasan yang bisa dijadikan panduan untuk mengekspresikan pendapat. Menurutnya Undang-Undang Indonesia sudah cukup memadai. Apabila ada pihak-pihak yang menyebarkan berita hoax, itu dapat dilacak.

"Sekarang ada UU ITE, teknologi semakin berkembang dan mudah pada saat ini. Namun permasalahannya hanya satu yaitu keadilan yang masih sulit ditegakan di Indonesia. Penegakan keadilan seringkali terjadi hanya pada pihak tertentu saja seperti tumpul keatas, tajam kebawah hal tersebut semakin nyata," ungkapnya.

Penulis :
Syena Meuthia
Kiki Rizki Larasati
Nabilla Thalita Fadis
Laras Sari Jadra
Nabila Gadis Caisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun