" Kalau begitu sudah pasti PUBLIK teh nggak akan terbit lagi?" Kusnadi bertanya, tampak sudah tidak sabar.
"Makanya sama Akang sekarang cepat-cepat dikasih surat juga. Sudah beberapa kali Akang sengaja menemui Si Oom baru malam tadi bisa ketemu. Itu juga nggak lama, kan dia harus menghadiri resepsi di Kertamukti. Ngobrolnya dinas sekali. Tapi meskipun cuma sebentar, kepastiannya sudah lebih dari pasti. Sebab sekarang Akang ditugaskan untuk mengajukan daftar pesangon."
"Pesangon?" Kusnadi tercenung. Melirik ke Mira. Yang dilirik tersenyum memberi isyarat mengerti. Tetapi Kusnadi tampak malas tertawa. Iya tadi sempat mengobrol menyebut-nyebut soal pesangon, tadinya hanya tebakan. Malah hanya candaan. Sekarang menjadi nyata.
"Pesangon gimana Kang?" katanya lagi ke Zulkarnaen.
Zulkarnaen agak bergeser duduknya. Saat mau bicara, di halaman ada motor berhenti. Zulkarnaen beranjak ke pintu menyingkap gordin.
"Pepen." ujarnya sambil membuka kunci pintu.
Setelah menggantungkan jas hujan di kursi yang ada di teras, Pepen masuk. Meskipun memakai jas , celananya basah juga.
"Ada surat dari Ibu?" tanya Kusnadi. Duduknya bergeser memberi tempat untuk Pepen duduk. Tetapi Pepen memilih menduduki kursi di sampingnya.
"Iya." jawabnya sambil menyeka wajahnya dengan sapu tangan. "Ada apa Kang Zul bikin kaget saja? Kalau berundingnya sudah selesai, kasih saya kepastiannya saja. Maaf terlambat" bicaranya sambil tertawa.
"Ih boro-boro selesai. Baru juga mulai!"
"Aduh...kirain teh..."