Lia mengangguk. Kusnadi pamitan. Baru saja sampai di gang, perutnya keroncongan. Terasa lapar lagi. Jadi tidak langsung pulang, mampir dulu ke lapangan Gasibu. Lalu duduk di warung nasi.
"Rames saja, Bi." pintanya.
"Sudah tidak ada apa-apa , Cep. Cuma ada goreng tempe."
Kusnadi termenung sambil melihat-lihat.
"Nasinya saja Bi. Biar saya kasih kuah mi." kata Kusnadi sambil beranjak ke sebekah, pesan ke yang jual mi kocok.
Selama melahap dia terus berpikir. Bagaimana caranya agar bisa meneliti sendiri ke Zulkarnaen. Ingin tahu bagaimana sebenarnya. Jangan-jangan ada sebab-sebab lain hingga memutuskan koran tidak terbit lagi. Menurut perhitungannya rasanya tidak usah tidak terbit. Terakhir oplahnya masih lima ribu. Terhitung merosot kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jangan beberapa tahun ke belakang. Waktu menghsdapi kampanye pemilu, oplah koran melonjak. Tetapi hingga saat ini terus menurun.
Pada rapat mendekati berhenti, wijaya pernah berkata mencela isi koran.
"Semakin ke sini, isi PUBLIK semakin turun saja.Tidak pernah ada tulisan bermutu, yang digarsp serius." ujarnya bersemangat.
"Serius di mananya Oom?" sahut Zulkarnaen.
"Pokoknya dalam isinya, ada masalah politik, tapi tidak ke sana tidak ke sini. Ada hiburan, tapi terkadang sampai suka bertanya, apa istimewanya soal begitu sampai harus menjadi berita? Apa tidak ada lagi soal lain?"
(Bersambung)