Mohon tunggu...
Mas
Mas Mohon Tunggu... Freelancer - yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances— Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pangan untuk Masa Depan: Bantu Petani Adaptasi Hadapi Krisis Iklim

3 Januari 2022   17:54 Diperbarui: 5 Januari 2022   11:01 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, bagaimana nasib petani setelah 62 tahun?

Tak hanya ancaman krisis iklim, ancaman petani Indonesia adalah undang-undang yang menjadikan impor pangan sebagai strategi ketahanan pangan. Selama beberapa dekade, produksi beras terus meningkat. 

Namun, peningkatan konsumsi pangan lebih cepat dari laju produksi. Pertumbuhan penduduk di Indonesia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 24,5% selama empat dekade mendatang, dari 250 juta pada tahun 2015 menjadi 311 juta pada tahun 2050.

Serikat Petani Indonesia (SPI) melalui laman resmi mengangkat tema Hari Tani Nasional 2021 yaitu "Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria untuk Menegakkan Kedaulatan Pangan dan Memajukan Kesejahteraan Petani dan Rakyat Indonesia." Itu hari pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960. 

Omnibus law ini mengubah UU Pangan dari mengutamakan komoditas dalam negeri menjadi berorientasi pada impor. Komoditas pangan dalam negeri yang menjadi bagian dari ketahanan pangan nasional akan bertarung di pasar bebas bersama impor pangan yang kian dipermudah karena menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan Indonesia.

Keadaan ini akan makin menyulitkan petani di tengah gempuran krisis iklim, kesulitan akses terhadap pasar, masih tradisionalnya cara mengolah lahan dan komoditas. Mengelola lahan di bawah 0,5 hektare membuat petani Indonesia tergolong petani gurem.

Mengutip laporan Badan Pusat Statistik, penguasaan lahan pertanian tiap rumah tangga menurun hampir separuhnya selama kurun tersebut. Pada 1963, tiap rumah tangga rata-rata menguasai 1,1 hektare. Dalam sensus pertanian 2018, dari 27.682.117 kepala rumah tangga, 61% memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.

Pertambahan jumlah penduduk membuat lahan pertanian tiap rumah tangga menyusut karena sistem waris. Urbanisasi membuat anak-anak muda makin jarang yang berminat meneruskan pekerjaan orang tua mengolah lahan pertanian. 

Seperti yang ditunjukkan data Bank Dunia, bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai petani menyusut tinggal 28,5% pada 2019. Padahal dibanding tiga  dekade sebelumnya sebanyak 55,5% dari total angkatan kerja. 

Sementara di sektor lain yang lebih dekat ke urbanisasi, seperti industri, naik dari 15,2% pada 1991 menjadi 22,36% pada 2019. Di sektor jasa kenaikannya lebih pesat lagi, dari 29,3% menjadi 49,1%.

Tak heran jika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, 42 tahun mendatang Indonesia tak lagi mempunyai petani bila tren tersebut terus berlanjut. "Mungkin pada 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal," ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia dalam webinar "Sistem Pangan dan Perencanaan Kota" pada Selasa, 23 Maret 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun