Mohon tunggu...
Mas
Mas Mohon Tunggu... Freelancer - yesterday afternoon a writer, working for my country, a writer, a reader, all views of my writing are personal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

There is so much weariness and disappointment in travel that people have to open up – in railway trains, over a fire, on the decks of steamers, and in the palm courts of hotels on a rainy day. They have to pass the time somehow, and they can pass it only with themselves. Like the characters in Chekhov they have no reserves – you learn the most intimate secrets. You get an impression of a world peopled by eccentrics, of odd professions, almost incredible stupidities, and, to balance them, amazing endurances— Graham Greene, The Lawless Roads (1939)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pangan untuk Masa Depan: Bantu Petani Adaptasi Hadapi Krisis Iklim

3 Januari 2022   17:54 Diperbarui: 5 Januari 2022   11:01 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Petani Gunungkidul, Yogyakarta, Sedang Panen ketela Pohon (Kompas.com/Markus Yuwono)

Perubahan iklim mendominasi berita utama dan umpan berita kita dan menyusup ke percakapan kita sehari-hari. Ini adalah masalah yang sangat membebani masyarakat kita, tetapi solusi yang menjanjikan bisa jadi terletak tepat di bawah kaki kita --- di dalam tanah. 

Perubahan iklim bukan lagi teori kiamat tentang masa depan kita yang jauh - itu ada di sini. Petani di seluruh dunia sudah menghadapi lebih banyak iklim yang bervariasi dan peristiwa cuaca yang dramatis, seperti kekeringan di California dan topan raksasa di Asia. 

Ancaman jumlah penduduk dan industrialisasi serta urbanisasi, setali tiga uang dengan ancaman lain yang lebih besar, yakni krisis iklim. Bencana ekologis berupa kekeringan, suhu ekstrem, musim yang menyeleweng membuat sektor pertanian menghadapi ancaman paling serius. Rendahnya minat anak muda menjadi petani disebabkan pendapatan yang rendah. 

Di Indonesia, berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp 1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada.

Jadi apa yang bisa dilakukan?

Mengingat fakta tersebut begitu sedikit penduduk planet yang tampaknya mau atau mampu mengubah kebiasaan lama, para petani - terutama mereka yang berada di negara berkembang - harus menyesuaikan diri dengan perubahan iklim secepat dan semurah mungkin. Atau, dalam bahasa mereka yang mempelajari perubahan iklim, mereka harus "mengurangi" efek perubahan iklim dan "beradaptasi" dengan lingkungan baru mereka.

Seringkali, memberi makan dunia dalam menghadapi perubahan iklim dipandang sebagai masalah teknologi semata. Jika kita bisa mendapatkan benih tahan kekeringan baru dan lebih baik bagi petani, argumennya berlanjut, atau lebih banyak pupuk, hasil panen bisa meningkat dan semua orang bisa makan.

Krisis iklim mempengaruhi mata pencaharian dan ketahanan pangan masyarakat pedesaan di seluruh dunia. Namun, ketika membuat kebijakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim, para pembuat keputusan nasional seringkali tidak memiliki akses bukti penting tentang perubahan iklim di tingkat lokal. 

Selain itu, biasanya proyek yang bertujuan untuk menerapkan strategi adaptasi perubahan iklim kekurangan informasi yang relevan tentang kerentanan spesifik negara.

Penelitian Organiasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), yang telah berlangsung sejak 2015 mencapai beberapa kesimpulan penting. Hasil khususnya yang berkaitan dengan kegiatan adaptasi perubahan iklim.

Beberapa temuan tersebut adalah:

1. Pada periode 2040-2069 mendatang, suhu Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat (terhadap suhu dasar 1971-2000) di seluruh negeri, melebihi lebih dari 20C.

Distribusi spasial curah hujan rata-rata periode referensi historis 1971-2000 dibandingkan dengan periode skenario target 2040-2069 menunjukkan bahwa curah hujan memiliki variabilitas spasial yang tinggi. 

Beberapa daerah akan mengalami peningkatan sedangkan beberapa daerah lainnya akan mengalami penurunan curah hujan. Namun, total curah hujan tahunan rata-rata diproyeksikan meningkat hingga 40%.

2. Terdapat 8 provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur) yang dianalisis dampak perubahan iklim terhadap hasil panen tiga tanaman utama. 

Hasil penelitian menunjukkan penurunan hasil pertanian yang ekstrim (<1,5 ton/ha) untuk padi/jagung dan (<0,5 ton/ha) untuk kedelai yang diprediksi terjadi di beberapa wilayah Jawa dan Nusa Ttenggara Timur selama 20-50 tahun mendatang. 

Kabupaten Grobogan dan Jember yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur berisiko tinggi terhadap penurunan hasil di semua komoditas. Ketersediaan air di beberapa tempat di Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi akan menjadi kritis dalam 20-30 tahun ke depan.

3. Di tingkat rumah tangga, lebih dari sepertiga keluarga petani Indonesia diperkirakan rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Berdasarkan temuan, beberapa rekomendasi disarankan, bahwa input teknologi tinggi diperlukan untuk daerah berisiko tinggi, termasuk pengembangan dan peningkatan infrastruktur DAS, varietas unggul adaptif, benih bersertifikat, pupuk organik dan anorganik berimbang, mesin pertanian, pengaturan kalender tanam, dan penyuluhan untuk kesadaran informasi iklim. . 

Kebijakan untuk merespons dampak perubahan iklim baik dalam waktu dekat maupun jauh ke depan harus dikembangkan dan dilaksanakan dengan tepat.

Kabupaten Indramayu di Jawa Barat ditetapkan sebagai lokasi pilot project peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Indramayu dipilih sebagai percontohan proyek ini karena daerah tersebut selama ini dikenal sebagai lumbung beras Jawa Barat. Oleh karena itu, petani berada di garda terdepan dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Di sisi lain, bagaimana nasib petani setelah 62 tahun?

Tak hanya ancaman krisis iklim, ancaman petani Indonesia adalah undang-undang yang menjadikan impor pangan sebagai strategi ketahanan pangan. Selama beberapa dekade, produksi beras terus meningkat. 

Namun, peningkatan konsumsi pangan lebih cepat dari laju produksi. Pertumbuhan penduduk di Indonesia diproyeksikan akan tumbuh sebesar 24,5% selama empat dekade mendatang, dari 250 juta pada tahun 2015 menjadi 311 juta pada tahun 2050.

Serikat Petani Indonesia (SPI) melalui laman resmi mengangkat tema Hari Tani Nasional 2021 yaitu "Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria untuk Menegakkan Kedaulatan Pangan dan Memajukan Kesejahteraan Petani dan Rakyat Indonesia." Itu hari pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960. 

Omnibus law ini mengubah UU Pangan dari mengutamakan komoditas dalam negeri menjadi berorientasi pada impor. Komoditas pangan dalam negeri yang menjadi bagian dari ketahanan pangan nasional akan bertarung di pasar bebas bersama impor pangan yang kian dipermudah karena menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan Indonesia.

Keadaan ini akan makin menyulitkan petani di tengah gempuran krisis iklim, kesulitan akses terhadap pasar, masih tradisionalnya cara mengolah lahan dan komoditas. Mengelola lahan di bawah 0,5 hektare membuat petani Indonesia tergolong petani gurem.

Mengutip laporan Badan Pusat Statistik, penguasaan lahan pertanian tiap rumah tangga menurun hampir separuhnya selama kurun tersebut. Pada 1963, tiap rumah tangga rata-rata menguasai 1,1 hektare. Dalam sensus pertanian 2018, dari 27.682.117 kepala rumah tangga, 61% memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.

Pertambahan jumlah penduduk membuat lahan pertanian tiap rumah tangga menyusut karena sistem waris. Urbanisasi membuat anak-anak muda makin jarang yang berminat meneruskan pekerjaan orang tua mengolah lahan pertanian. 

Seperti yang ditunjukkan data Bank Dunia, bahwa proporsi penduduk yang bekerja sebagai petani menyusut tinggal 28,5% pada 2019. Padahal dibanding tiga  dekade sebelumnya sebanyak 55,5% dari total angkatan kerja. 

Sementara di sektor lain yang lebih dekat ke urbanisasi, seperti industri, naik dari 15,2% pada 1991 menjadi 22,36% pada 2019. Di sektor jasa kenaikannya lebih pesat lagi, dari 29,3% menjadi 49,1%.

Tak heran jika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, 42 tahun mendatang Indonesia tak lagi mempunyai petani bila tren tersebut terus berlanjut. "Mungkin pada 2063 tidak ada lagi yang berprofesi sebagai petani seperti yang kita kenal," ujar Plt Direktur Pembangunan Daerah Kementerian PPN/Bappenas Mia Amalia dalam webinar "Sistem Pangan dan Perencanaan Kota" pada Selasa, 23 Maret 2021.

Bagi saya ataupun Anda yang tidak bergelut dalam pertanian. Musim penghujan mungkin tampak seperti kesempatan bagi saya ataupun Anda untuk tidur siang dan istirahat yang lama sebelum tanah yang basah mencair. Tentu tidak bagi kehidupan petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun