"Tetapi kau telah membakar surga!" tukas sang guru.
"Mereka layak meraih ganjarannya."
"Jika demikian, seperti yang kau ucapkan. Engkau adalah Sanumerta yang mulia."
Sanumerta memalingkan muka ke arah pohon mangga
"Diam!" bentaknya.Â
Sanumerta kemudian berkata,"Tidak ada orang yang dapat memahami isi pikiranku. Tidak pula dengan kalimat bijaksana atau para nabi. Mereka adalah kehampaan yang membentang tetapi selalu dipandang sebagai keabadaian menurut sebagian orang. Aku tidak menyalahkan mereka. Tetapi mereka selalu menyalahkan aku yang berbeda.Â
Rasa yang tidak terlihat oleh mata, begitu mudah menjadi mainan di tangan mereka. Aku membunuhnya. Aku membunuh rasa yang selalu menyatakan hanya kesucian yang dapat mengerti keindahan."
Sang guru kemudian berujar saat Sanumerta berdiam,"Sanumerta tak pantas berkalang tanah. Berbaur dengan debu-debu yang hina. Bertoreh lumut untuk menutup wajah. Tidak ada cerah yang menutupi mata.Â
Para nabi dan orang bijak telah melewati masa hampa. Mereka berkata tentang jiwa-jiwa nestapa."
"Diam!" seringai bengis Sanumerta dalam bentakannya.
Sang guru tetap berkata-kata, "Pintu neraka telah tertutup baginya. Nanah dan darah enggan mendekati Sanumerta. Hendak kemana engkau berlalu dengan karma yagn setia bersamamu, Anak Muda?"