Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ruang Hening

27 Mei 2020   06:54 Diperbarui: 27 Mei 2020   06:49 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa menganggap bahwa penciptaannya dilatar belakangi oleh banyaknya perang ditahun 1980-an, yang jelas berdampak trauma berat bagi anak-anak. Coba bayangkan, seorang anak tanpa orang tua tumbuh ditengah ledakan bom, letusan senapan, reruntuhan bangunan, dan orang-orang dewasa yang saling membunuh.

Mengerikan!. Mereka yang terpaksa lahir didunia jahat ini akan mengalami ketakutan demi ketakutan yang membekas sepanjang hidup. Sementara disisi lain, mereka musti kembali membangun sebuah dunia baru diatas puing-puing kehancuran. 

Jika dewasa ini tak ada lagi perang, penguasaan sumber daya alam oleh para oligarki akan menimbulkan dampak yang sama. Memprivatisasi ruang publik, membakar hutan, menjarah kebun dan sawah warga hingga tak ada lagi yang tersisa. Sedikitpun!. Mirisnya konflik horizontal rentan terjadi.

Lalu apa yang bisa kita wariskan ? Toh, menonton vlog artis atau mendengar lagu indie lebih mampu membuat mata terlelap dibanding nyanyian yabe lale, siapa lagi yang menganggap penting sikarume dari Toraja, atau sekedar mencari tahu siapa Colliq Pujie perempuan cerdas nan perkasa dari Bugis. 

Siapa yang akan memberitahukan ke keturunan kita kelak bahwa Undur undur yang hanya serangga kecil itu, bisa mengobati penyakit asma. Masih adakah tetuah yang bisa membantu membakar dupa dan membaca mantra di pinggir sawah pada malam sebelum menuai padi keesokan harinya, agar hasil panen melimpah. 

Sedang To Manurung jauh-jauh hari telah pergi meninggalkan kita. Apa yang akan kita wariskan ? Tidak ada. Kecuali air mata.

Eh!. Maaf, rupanya aku terlalu bersemangat sehingga melanggar sendiri kesepakatan yang kubuat. Tapi maksudku, kelak denganmu, aku ingin hidup tenang damai dan bahagia dikaruniai Dua orang anak. Laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya tidak punya cita-cita jadi polisi.

Seperti pertanyaan-pertanyaan dan anggapanmu tentang aku yang kadang murung, tampak lesuh, hingga menjauhi orang-orang. Aku menjalani hari-hari dengan dialog entah dengan siapa. Seperti terhempas pada ruang hening diikuti suara-suara gaib dan adegan-adegan aneh.

"mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa?".

Eh hey, ada wajah Ibu, tersenyum. Ada wajah Bapak, tersenyum. Juga wajahmu, tersenyum. Oh eii!. Ada saudara-saudara dan kawan-kawan dekatku. Dan tidak!, siapa ribuan wajah lain yang hadir membersamainya. Adakah mereka adalah orang-orang dimasa depan, atau kaliankah orang-orang di masa lalu ?.

Kumohon!, berhenti memintaku menjadi siapa-siapa!. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun