Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ruang Hening

27 Mei 2020   06:54 Diperbarui: 27 Mei 2020   06:49 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by. fuckyeahanarchistposters.tumblr.com

Tunggu dulu, sebelum kau terus menyerangku dengan pertanyaan mengapa aku akhir-akhir ini selalu menghindari orang-orang dan tidak suka berada ditempat-tempat ramai, sebelumnya kita tetap butuh bicara tapi dengan catatan musti lebih santai. 

Tidak seperti biasanya. Kalimat-kalimatku yang berlebihan dan emosimu yang kadang tak terkontrol.  

Kita mulai dengan hal-hal sederhana, tapi menurutku tak perlu lagi saling lempar pertanyaan tentang makanan kesukaan, hobi yang digemari, lebih memilih kopi susu atau hitam, dan sejenisnya. Terlalu basa-basi. 

Akupun akan berupaya menahan diri untuk berbicara tentang perkampungan masyarakat adat, lengan-lengan petani, nelayan yang membangunkan sampannya sebelum melaut, kepatuhan pekerja, dan atau perbedaan antara Marx dan Bakunin.

Anggap saja kita berada didalam cable car berkapasitas 6 orang, hendak menaiki puncak gunung Titlis di Swis pada suatu siang yang sepi pengunjung karena hari Minggu. Swis terkenal dengan masyarakat yang taat dalam ibadah. 

Di dalam hanya ada kita, berdua. Saling berhadapan dan masing-masing membelakangi jendela. Sesekali kamu menggumam dengan pemandangan di bawah sana. Pemukiman, hamparan rumput hijau lengkap dengan sapi-sapi, hingga tumpukan-tumpukan salju bak berlian di sepanjang pegunungan Alpen. 

Mungkin aku tak menghiraukannya, dan lebih memilih mengagumimu, seperti yang lalu-lalu. Seperti kataku, "tidak pernah ada waktu cukup saat bersamamu".

Atau suatu pagi di beranda rumah yang menghadap perbukitan hijau, matahari baru tampak setengah. Kamu duduk tepat disampingku lalu menuangkan teh. Disamping rumah ada sungai, coba resapi bunyi aliran sungai itu. Terdengar seperti suara anak-anak kecil sedang berlarian dan penuh kegirangan. 

Hmm, sungguh indah untuk memulai percakapan. Kuraih dan genggam jemarimu. Erat. kemudian berkata "kau adalah alasan kenapa aku musti mensyukuri hidup ini".  When The Children Cry mengalun. Pelan.

Eh, tapi tahan dulu, sebentar. Apakah aku pernah bercerita padamu tentang lagu When The Children Cry (1988) dan kenapa aku begitu menyukai liriknya ?. 

Beberapa menganggap bahwa penciptaannya dilatar belakangi oleh banyaknya perang ditahun 1980-an, yang jelas berdampak trauma berat bagi anak-anak. Coba bayangkan, seorang anak tanpa orang tua tumbuh ditengah ledakan bom, letusan senapan, reruntuhan bangunan, dan orang-orang dewasa yang saling membunuh.

Mengerikan!. Mereka yang terpaksa lahir didunia jahat ini akan mengalami ketakutan demi ketakutan yang membekas sepanjang hidup. Sementara disisi lain, mereka musti kembali membangun sebuah dunia baru diatas puing-puing kehancuran. 

Jika dewasa ini tak ada lagi perang, penguasaan sumber daya alam oleh para oligarki akan menimbulkan dampak yang sama. Memprivatisasi ruang publik, membakar hutan, menjarah kebun dan sawah warga hingga tak ada lagi yang tersisa. Sedikitpun!. Mirisnya konflik horizontal rentan terjadi.

Lalu apa yang bisa kita wariskan ? Toh, menonton vlog artis atau mendengar lagu indie lebih mampu membuat mata terlelap dibanding nyanyian yabe lale, siapa lagi yang menganggap penting sikarume dari Toraja, atau sekedar mencari tahu siapa Colliq Pujie perempuan cerdas nan perkasa dari Bugis. 

Siapa yang akan memberitahukan ke keturunan kita kelak bahwa Undur undur yang hanya serangga kecil itu, bisa mengobati penyakit asma. Masih adakah tetuah yang bisa membantu membakar dupa dan membaca mantra di pinggir sawah pada malam sebelum menuai padi keesokan harinya, agar hasil panen melimpah. 

Sedang To Manurung jauh-jauh hari telah pergi meninggalkan kita. Apa yang akan kita wariskan ? Tidak ada. Kecuali air mata.

Eh!. Maaf, rupanya aku terlalu bersemangat sehingga melanggar sendiri kesepakatan yang kubuat. Tapi maksudku, kelak denganmu, aku ingin hidup tenang damai dan bahagia dikaruniai Dua orang anak. Laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya tidak punya cita-cita jadi polisi.

Seperti pertanyaan-pertanyaan dan anggapanmu tentang aku yang kadang murung, tampak lesuh, hingga menjauhi orang-orang. Aku menjalani hari-hari dengan dialog entah dengan siapa. Seperti terhempas pada ruang hening diikuti suara-suara gaib dan adegan-adegan aneh.

"mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa? mau kemana? mau jadi apa?".

Eh hey, ada wajah Ibu, tersenyum. Ada wajah Bapak, tersenyum. Juga wajahmu, tersenyum. Oh eii!. Ada saudara-saudara dan kawan-kawan dekatku. Dan tidak!, siapa ribuan wajah lain yang hadir membersamainya. Adakah mereka adalah orang-orang dimasa depan, atau kaliankah orang-orang di masa lalu ?.

Kumohon!, berhenti memintaku menjadi siapa-siapa!. 

Kalian lihat sendiri, kuburan tua tempat para leluhur dipinggir desa telah porak-poranda oleh gigi-gigi eskavator, dan Oh Tuhan!, tepat diujung tangga rumahku telah tumbuh pohon kelapa sawit milik korporasi, bagaimana mungkin kita berani berangan-angan hidup layak dimasa mendatang, sedang tanah yang merekam jejak-jejak kaki pertama kita saat bersentuhan dengan dunia telah raib.

Tapi kau, awwah!. Hey, jangan pergi!. Semua akan baik-baik saja, bantu aku yakin atas itu. Mmm...mungkinkah kau mulai meragukanku? Atau kau telah ada dengan seseorang  yang begitu mudah membuatmu tersenyum? 

Yaah, tetap saja kau ada banyak pertimbangan untuk pergi. Namun pintaku, bersikaplah seperti dahulu, kita butuh sedikit bersabar. Harapku kaupun musti turut mengepal tangan. Menyatu dalam barisan massa rakyat yang sadar. Kita akan bergandengan tangan ditengah lautan massa yang marah menyanyikan lagu L'Internationale.
*
Satu hal, akupun merasa beda dan sedang ketakutan. Persetan dengan istilah berada pada fase apa dan masa yang mana, yang kutahu ada perubahan-perubahan secara prinsip terjadi. Ada pergolakan yang tidak hanya dipikiran tapi juga batin.

Aku merasa lepas kendali atas tubuh dan pikiranku. Semangatku seakan memudar, dan yang selalu kuyakini adalah bahwa tidak ada yang lebih keji dikehidupan ini dari semangat yang patah.

Hari esok terlalu menakutkan, pun hanya sekedar mencoba mempersiapkannya. Aku membayangkan esok, hidup hanyalah rangkaian basa-basi, lengkap dengan peristiwa-peristiwa pedih dan runyam. 

Bagaimana jika sesuatu merenggut senyum pada wajah Ibu dan Bapak dimasanya yang senja ? Bagaimana jika kau akhirnya muak dengan mimpi-mimpi utopiku ? 

Bagaimana jadinya, jika aku tak mampu lagi berlawan, sedang suaraku parau dirumah-rumah bernyanyi, tak lagi dijalan.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun