Kalian lihat sendiri, kuburan tua tempat para leluhur dipinggir desa telah porak-poranda oleh gigi-gigi eskavator, dan Oh Tuhan!, tepat diujung tangga rumahku telah tumbuh pohon kelapa sawit milik korporasi, bagaimana mungkin kita berani berangan-angan hidup layak dimasa mendatang, sedang tanah yang merekam jejak-jejak kaki pertama kita saat bersentuhan dengan dunia telah raib.
Tapi kau, awwah!. Hey, jangan pergi!. Semua akan baik-baik saja, bantu aku yakin atas itu. Mmm...mungkinkah kau mulai meragukanku? Atau kau telah ada dengan seseorang  yang begitu mudah membuatmu tersenyum?Â
Yaah, tetap saja kau ada banyak pertimbangan untuk pergi. Namun pintaku, bersikaplah seperti dahulu, kita butuh sedikit bersabar. Harapku kaupun musti turut mengepal tangan. Menyatu dalam barisan massa rakyat yang sadar. Kita akan bergandengan tangan ditengah lautan massa yang marah menyanyikan lagu L'Internationale.
*
Satu hal, akupun merasa beda dan sedang ketakutan. Persetan dengan istilah berada pada fase apa dan masa yang mana, yang kutahu ada perubahan-perubahan secara prinsip terjadi. Ada pergolakan yang tidak hanya dipikiran tapi juga batin.
Aku merasa lepas kendali atas tubuh dan pikiranku. Semangatku seakan memudar, dan yang selalu kuyakini adalah bahwa tidak ada yang lebih keji dikehidupan ini dari semangat yang patah.
Hari esok terlalu menakutkan, pun hanya sekedar mencoba mempersiapkannya. Aku membayangkan esok, hidup hanyalah rangkaian basa-basi, lengkap dengan peristiwa-peristiwa pedih dan runyam.Â
Bagaimana jika sesuatu merenggut senyum pada wajah Ibu dan Bapak dimasanya yang senja ? Bagaimana jika kau akhirnya muak dengan mimpi-mimpi utopiku ?Â
Bagaimana jadinya, jika aku tak mampu lagi berlawan, sedang suaraku parau dirumah-rumah bernyanyi, tak lagi dijalan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H