Mohon tunggu...
kibal
kibal Mohon Tunggu... Petani - Petani

Catatan dari Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Untuk Kawan

22 Mei 2020   19:28 Diperbarui: 23 Mei 2020   19:32 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami hanya mengharapkan lingkungan yang kami bebas minum tuak, pulang tidur setelah mabuk, agar paginya merasa hebat untuk kembali berkebun, tanpa dicap kriminal oleh kalian yang merasa berpendidikan

Setidaknya kalimat ini yang kutangkap dari sorot tajam mata seorang kawan lama tempo hari. Sekitar tiga puluh menit sebelum adzan Maghrib, di simpang tiga jalan tani. Terlihat kawan yang entah sedang apa, diatas motornya tampak sebuah karung yang ku kira berisi dua buah jergen 5 liter berisi tuak.

Sebelumnya sedikitpun, tidak ada yang kurasa kurang ajar dari batok kepala sampai telapak kaki ini, setelah seharian berkebun dan pulang setelah peringatan sebentar lagi hari gelap dari burung-burung gagak yang tergesa-gesa kembali ke sarangnya.

Aku pulang, dan tidak kalah semangat dari saat berangkat hehe, mengendarai motor sambil bernyanyi The Spirit Carries On -- Dream Theater dalam hati.  

Fantasi ku belum lagi sampai pada aku yang menggantikan James Labrie, dalam sebuah konser tunggal, disaksikan oleh jutaan penonton yang begitu semangat melambai-lambai rapi, dengan blits ponsel menyala di tangan. 

Beberapa dari mereka sibuk mengusap air mata karena tak cukup kuat menahan haru, saat aku yang penuh penghayatan bernyanyi keras pada bait ;

Victoria's real

I finally feel

At peace with the girl in my dreams

And now that I'm here

It's perfectly clear

I found out what all of this means

Sayang, semua itu buyar, tidak ada aku yang berpakaian serba hitam menggantikan James Labrie, atau apalagi penonton yang berteriak histeris. 

Digantikan oleh perasaan sesak di dada bak tiga ekor kerbau lari berkejaran di dadaku secara berulang-ulang, setelah tatapan yang menyirat jengkel dari sobat karib itu. Dramatis!.

Menurut ku tatapan seperti itu tak sepatutnya ia layangkan padaku. Pasalnya, sebelum kumemutuskan berangkat kuliah, meskipun tanpa cita-cita, sedang dia memilih tetap hebat, di kampung berkebun, kami pernah akrab dengan kegiatan-kegiatan yang menurut orang tua kami bobrok, atau hal-hal berbahaya lainnya yang dianggap hanya bagian dari kekonyolan.

Segera aku berusaha introspeksi diri, sedapat mungkin. Yang terlintas dipikirku, kami juga dengan kawan yang lain, memang cukup terbatas dalam hal komunikasi sejak beberapa tahun yang lalu. 

Tapi sungguh, aku tidak pernah ingin atau sekedar berusaha seperti yang dimaksudkan Rendra dalam puisinya - sajak seonggok jagung. "Apakah gunanya seseorang, Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja.  Ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata : disini aku merasa asing dan sepi"

Aku tidak pernah merasa seperti itu, atau entahlah jika akupun adalah bagian dari yang orang sering katakan bahwa, "mereka yang merasa berpendidikan terlalu banyak berpendapat tapi indera pendengarannya kurang berfungsi". 

Ah!. Persetan!. Maksudnya, aku yang tumbuh dan bahgia dalam lingkungan yang minum tuak adalah normal dan wajar sebagai rutinitas sehari-hari, tidak pernah mempersoalkannya. 

Karena setahuku, tidak pernah ada perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban, bahkan setelah mabuk tingkat dewa Zeus sekalipun.

Bahkan selain mengakrabkan hubungan sosial, tak sedikit yang memanfaatkan kegiatan minum tuak sebagai media bertukar informasi tentang pertanian. Kriminal dari sisi mana jika para bapak tani yang seharian kelelahan mencoba menghibur diri dengan kegiatan seperti itu ?.

Tapi, ini tidak untuk membenturkan budaya minum tuak dengan agama, mengabaikan hal yang tidak menyehatkan darinya, dan atau menganjurkan agar minum tuak. 

Sadar atau tidak, dan langsung atau tak langsung, kita yang merasa berpendidikan tentu pernah menganggap mereka yang memilih tidak masuk dalam institusi sekolah itu, kolot atau ketinggalan zaman.

Pikirku, benar bahwa kita yang merasa berpendidikan terlalu bangga jika menghukumi setiap tindakan mereka yang memilih tidak,  dan terlalu sok ingin dicontoh. Sementara lupa bahwa mereka yang senang menggusur, merampas tanah, korupsi dan menjajah negara adalah orang-orang lulusan universitas -- kaum intelektual.

Seperti prediksi Bakunin "Mereka yang mengatasnamakan diri sebagai kaum inteletual akan menggantikan kekuasaan imprealisme, sebab hanya orang yang berilmu pengetahuan yang mampu menggunakan otoritas untuk menindas dan menjajah masyarakat".

Aku tiba di rumah, dengan perasaan bersalah yang membumbung, entah karena apa. Kepada kawan, aku hanya ingin minta maaf, entah untuk apa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun