It's perfectly clear
I found out what all of this means
Sayang, semua itu buyar, tidak ada aku yang berpakaian serba hitam menggantikan James Labrie, atau apalagi penonton yang berteriak histeris.Â
Digantikan oleh perasaan sesak di dada bak tiga ekor kerbau lari berkejaran di dadaku secara berulang-ulang, setelah tatapan yang menyirat jengkel dari sobat karib itu. Dramatis!.
Menurut ku tatapan seperti itu tak sepatutnya ia layangkan padaku. Pasalnya, sebelum kumemutuskan berangkat kuliah, meskipun tanpa cita-cita, sedang dia memilih tetap hebat, di kampung berkebun, kami pernah akrab dengan kegiatan-kegiatan yang menurut orang tua kami bobrok, atau hal-hal berbahaya lainnya yang dianggap hanya bagian dari kekonyolan.
Segera aku berusaha introspeksi diri, sedapat mungkin. Yang terlintas dipikirku, kami juga dengan kawan yang lain, memang cukup terbatas dalam hal komunikasi sejak beberapa tahun yang lalu.Â
Tapi sungguh, aku tidak pernah ingin atau sekedar berusaha seperti yang dimaksudkan Rendra dalam puisinya - sajak seonggok jagung. "Apakah gunanya seseorang, Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja.  Ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata : disini aku merasa asing dan sepi"
Aku tidak pernah merasa seperti itu, atau entahlah jika akupun adalah bagian dari yang orang sering katakan bahwa, "mereka yang merasa berpendidikan terlalu banyak berpendapat tapi indera pendengarannya kurang berfungsi".Â
Ah!. Persetan!. Maksudnya, aku yang tumbuh dan bahgia dalam lingkungan yang minum tuak adalah normal dan wajar sebagai rutinitas sehari-hari, tidak pernah mempersoalkannya.Â
Karena setahuku, tidak pernah ada perbuatan mereka yang mengganggu ketertiban, bahkan setelah mabuk tingkat dewa Zeus sekalipun.
Bahkan selain mengakrabkan hubungan sosial, tak sedikit yang memanfaatkan kegiatan minum tuak sebagai media bertukar informasi tentang pertanian. Kriminal dari sisi mana jika para bapak tani yang seharian kelelahan mencoba menghibur diri dengan kegiatan seperti itu ?.