Mohon tunggu...
Ki Ali
Ki Ali Mohon Tunggu... wiraswasta -

percayalah, jangan terlalu percaya. apalagi kepada saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Versi Bahasa Indonesia dari Cerkak Banyumasan] Siti

29 April 2012   15:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami berpapasan tidak sengaja kemarin, sewaktu aku hendak memetik daun dhadhap di pekarangan sebelah timur rumah Nini Carem. Baru saja kakiku menginjak halaman depan, pintu depan terbuka. Dheg! Aku kaget, berhenti dan termangu. Perempuan yang keluar dari dalam rumah Nini Carem itu nyatanya masih sanggup membuat jantungku dheg-dhegan. Siti!

Aku berhenti, Siti juga. Berpandangan sekejapan sambil diam. Aku masih memandanginya ketika Siti mulai menundukkan kepalanya. Entah karena sungkan atau memang karena tak mau beradu mata. Meski sekejap, sekilas terlihat srengat di wajahnya. Sepertinya Siti masih menyimpan semua yang sudah lewat. Mungkin tak semuanya hilang dari hatinya. Menunduknya itu barangkali ingin menyembunyikan kegugupan hati yang terpancar dari sorot matanya.

Mendapati Siti yang diam dan tak lekas beranjak, aku berani menduga kalau dia sungkan dan bingung. Sungkan mau berlalu tanpa menyapa bagaimana, mau menyapa ya bingung bagaimana memulainya. Karenanya aku yang membuka percakapan. Sambil menghampirinya.

"Kamu? Sengaja kesini? Sudah lama?"

Siti hanya mengangguk. Masih menunduk.

"Sedang sehat-sehat saja kan semuanya? Suruh mbregodog siapa? Mboke apa bapak? Atau malah kamu?" aku bertanya lagi. Nini Carem memang sering dimintai tolong untuk mbregodog oleh orang sekitar sini.

"Mboke." Jawabnya singkat dan pelan sekali. Nyaris tak terdengar.

"Tidak sedang sakit, kan? Aku lama tak lewat ke atas sana.”

"Nggak. Cuma kepingin dipijat seperti biasa."

Aku bingung mau tanya apalagi. Memang sama sekali tak mengira akan bertemu Siti. Aku diam Siti juga. Cukup lama kami berdua mematung. Gadis hitam manis yang masih menunduk itu tak tahu kalau aku kemudian memperhatikan dirinya.

***

Siti anak tunggal Pak Sadam, pengrajin gula jawa yang menyadap sendiri badhegnya. Seharinya Pak Sadam menyadap badheg tak kurang dari 30 pohon kelapa, pagi dan sore. Yang memasak menjadi gula adalah istrinya. Gula jawa buatan Pak Sadam itu sudah terkenal asli dan murni, tidak menggunakan obat gula dan tidak pula dicampuri bahan-bahan lain yang tujuannya untuk menambah bobot dan banyaknya gula. Jika pengrajin gula jawa lainnya menggunakan obat gula untuk laru badheg, maka Pak Sadam masih setia pada ajaran bapak dan kakeknya yaitu menggunakan kulit buah manggis yang dikeringkan dan dicampur apu. Pernah aku bertanya kenapa tidak seperti pengrajin gula lainnya yang memasukkan boled, munthul, jrangking dan entah apalagi lainnya yang bukan? Pak Sadam menjawab gamblang dan sederhana sekali. “Tidak mau. Memasak gula itu pencaharian, jalan kami makan. Kalau pekerjaannya disiasati dengan cara licik, nanti hasilnya tidak bakal jadi daging, cuma jadi tahi!”

Setiap harinya Siti membantu mboknya memasak gula dan pekerjaan rumahan lainnya termasuk menyapu halaman. Ya karena sering melihat Siti sedang menyapu halaman itulah aku jadi tahu jika ternyata ada yang bening di kampung atas sana. Aku jadi rajin dan pasti segera berangkat jika disuruh mbokku membeli pisang di kampung atas. Tak diperintahpun berangkat juga, pura-puranya ya mau menengok pisang milik siapa begitu. Maksudku jelas, hanya ingin melihat Siti sedang menyapu halaman. Siapa tahu bisa kenalan. Siapa tahu lalu diajak mampir. Siapa tahu dia jodohku. Siapa tahu, kan?

Benar saja. Suatu sore aku lewat sambil memanggul pisang ambon gading setundun besar. Jalan setapak yang menurun di depan rumah Siti itu sebenarnya tidaklah cukup untuk membuat orang merasakan penat dan lelah. Tapi demi melihat Siti sedang menyirami kembang dan tak menyapu halaman seperti biasanya, aku memberanikan diri berhenti dan menyapanya.

“Mbak, permisi ya? Kalau boleh saya minta tolong airnya sedikit saja. Tenggorokan saya rasanya haus sekali.” Sedikit pura-pura bolehlah dan rasanya ini waktu yang pas buat berkenalan dengannya.

Siti memandang sekejap dan melirik ke arah pisang yang sudah kuletakkan di tanah. Mungkin heran, masa cuma memanggul pisang setundun kok jadi kehausan. Tapi akhirnya Siti mengangguk dan bergegas masuk rumah. Sekejap Siti sudah datang dan menyodorkan segelas teh.

“Ini, Mas.” Sedikit sekali omongnya, sambil menunduk pula. Mungkin memang pemalu dia.

Segera kuminum tehnya. Wah, pahit juga ternyata. “Terima kasih, Mbak. Segar sekali ini. Tidak menyapu halaman, Mbak?”

“Sudah tadi.” Jawabnya sedikit. Masih menunduk, diterimanya gelas yang kusodorkan.

“Kembangnya bagus-bagus, yah. Itu Bougenville kok daunnya gemrining sekali. Ada yang daunnya merah, pink, putih, ungu. Bagus sekali. Mbak-nya yang menanam sendiri?” Aku mulai basa-basi. Kalau dianya tidak suka ya paling tak dijawab.

“Ya, Mas.” Masih saja sedikit jawabnya. Menunduknya pun tetap.

“Jangan menunduk, Mbak. Jangan takut. O, iya, Mbak. Kenalkan, ya. Saya Dali, sering beli pisang di sekitar sini, makanya sering lewat sini.” Aku mengulurkan tangan mengajak salaman.

Si gadis masih menunduk, tapi sepertinya sambil melirik. “Siti.” Lirih sekali suaranya.

Sepertinya memang gadis pemalu. Kalau aku terlalu lama mengajaknya ngobrol mungkin malah menjadikannya, Siti, tambah kikuk. Ya kalau hanya kikuk saja, kalau kemudian malah jadi sebal dan mengira aku ini ceriwis? Makanya aku pun lekas-lekas pamitan.

“Sudah hampir senja, saya duluan, Mbak Siti. Terima kasih sekali ya tehnya.”

“Ya, Mas.”

“Kapan-kapan kalau saya mampir boleh, ya? Dan jangan manggil Mas, panggil saja Kang. Ya?”

Siti hanya mengangguk. Bergegas masuk rumah, tak menungu aku keluar dari halaman.

***

Sesudah kenal dia Siti aku Dali, aku jadi sering mampir. Siti masih saja suka menunduk. Meski omongnya masih serba sedikit, tapi dari srengatnya sepertinya dia tak berkeberatan kalau aku sering mampir, entah berangkatnya entah sepulangnya mencari pisang-pisang daganganku. Mampirku pun paling cuma duduk-duduk di bawah pohon jambu air depan rumahnya. Kalau lagi duduk berdua, aku sering memperhatikannya: gadis desa yang menunduk sambil memegangi sapulidi.

Wajahnya yang hitam manis itu membuat betah siapapun yang memandang. Hidung kecil meruncing, mata hitam bening di bawah alis yang hitam tebal melengkung. Tajam sorotnya. Rambutnya melegam hitam panjang dan dikepang satu. Tubuhnya sedang, kurus tidak gemuk pun bukan. Kelihatannya pandai merawat tubuh dan memilih baju yang dipakainya. Menurutku, Siti itu apa-apanya bagus semua. Merak ati lah pokoknya. Membuatku selalu teringat-ingat akan solah-tingkahnya.

Setiap kali mampir aku cuma mengajaknya ngobrol. Ngobrol apa saja, yang penting bisa membuatku lama-lama menatapi hitam manisnya Siti. Siti, yang seringnya hanya diam saja, kadang sewot kalau tahu sedang diperhatikan.  Merengut, bibir dijebikan lalu memalingkan wajahnya. Kalau sudah begitu, kepang rambutnya aku tarik-tarik. Pasti dia menoleh, memperlihatkan jengkelnya dan menepikan tanganku. “Rika, ih..apa sih.." merengut lagi, memalingkan wajah lagi.

Tapi kukira Siti tak benar-benar jengkel. Buktinya, dia masih dan mau saja mendengarkan obrolanku. Biar hilang merengutnya, aku sering coba melucu yang membuat dia tak kuat menahan senyumnya. Terpaksanya harus tertawa, pasti gigi-gigi kecilnya yang putih rapi itu cepat-cepat ditutupi dengan tangannya yang kelihatan ringkih. Kalau Siti sudah mau tertawa, aku teruskan dengan cerita lainnya. Sambil mencuri pandang hitam manis wajahnya lagi. Dan dia akan merengut kembali jika tahu. Jika dia sampai memalingkan wajahnya, kepang satunya itu aku tarik-tarik kembali. Tapi ya itu, kukira dia memang tak benar-benar jengkel. Paling hanya mengucap, “Hiiihh..apa, sih..”

Agaknya orang tua Siti juga sudah maklum kalau aku sering mampir menemui anak mereka di bawah pohon jambu air. Bahkan di suatu sore yang lebat hujannya, mboknya Siti menyuruhku untuk berdiang mengusir dingin di dekat tungku gula. Di situlah aku bisa bercakap dengan Pak Sadam ayah Siti dan tahu kenapa gula jawa buatan Pak Sadam terkenal dan sedikit lebih mahal ketimbang gula jawa hasil pengrajin lainnya. Dalam obrolan itu, ternyata Pak Sadam tahu siapa aku dan juga mbokku yang memang janda cerai. Malah setelah hujan reda, pas pamitan aku diberi gula, katanya buat keperluan mbokku. Mungkin saja Pak Sadam tahu kalau semua kebutuhan dapur kami hanya mengandalkan pada pekerjaanku jual beli pisang. Tapi apa Pak Sadam juga tahu kalau aku ada maunya dengan sering menemui Siti?

Makain hari makin terbiasa. Kukira Siti sudah maklum apa keinginanku dengan sering menemuinya. Tak lama kemudian aku memberanikan diri. Siti terlihat tak terlalu kaget, meskipun dia langsung menunduk tak lekas menjawab. Aku diam, deg-degan dan menunggu. Siti tak memalingkan wajahnya, hanya mungkin matanya melirik sedikit kepadaku.

Aku tak cukup sabar. Ada rasa takut kalau Siti tak menerima cintaku. Aku lantas mendekat dan berucap, “Bagaimana, Ti? Kamu mau apa nggak?"

Siti belum juga menjawab. Menunduk, tangan kanannya mengelus-elus telapak tangan yang kiri. Diam saja, tak mengangguk tak pula menggeleng. Menatapku sebentar, senyum sekelebatan, lalu bergegas masuk rumah. Sapulidinya masih bersamaku. Tentu saja itu membuatku bingung.

Aku mengejar dan kuraih tangannya. “Ti, kamu jengkel ya? Aku nggak maksa, kok. Hanya menyampaikan isi hatiku. Kalau itu membuatmu marah, ya aku minta maaf. Besok-besok aku nggak akan mampir mengganggumu lagi.”

Siti menarik tangannya. Sebelum kembali bergegas ke rumah, disempatkannya memukul tanganku. Aku terhenyak. Hatiku mengeluh. “Berarti salah dugaanku. Kukira Siti senang jika aku main ke sini. Dhuh!”

Hatiku tak karuan rasanya. Ada malu, ada kecewa. Kecewa sekali. Apa selama ini Siti hanya sekedar menyenangkan hatiku saja? Sama sekali tak ada rasa sedikitpun kepadaku? Sungguh-sungguh nantinya aku tak lagi mampir kalau ke kebun? Tak lagi memandangi Siti yang hitam manis itu? Dhuh!

Siti belum sampai ke pintu. Aku ingin segera pergi. “Ti, aku pulang.”

Tak menunggu jawaban, sambil menatap langit aku keluar dari halaman. Baru juga sampai di bawah pohon jambu air, terdengar suara Siti. “Besok jangan kesorean kalau mampir!”

Dheg! Aku kaget dan segera berbalik. Siti kudekati. “Ti, maksudnya...?”

Siti malah menjebikan bibir. Tangane mengusirku. “Hmmm..orang bodoh! Sana cepat pulang! Besuk kalau mampirnya jangan kesorean. Awas kalau nggak nurut!”

Hah! Ternyata aku ini memang bodoh. Mana ada perempuan yang suka berterus terang bilang cinta? Tapi caranya Siti ini memang membuatku deg-degan. Hah!

***

“Sudah lama kamu datang? Sini masuk, jangan di luar saja. Sama kamu sekalian, Ti!” terdengar suara Nini Carem begitu tahu aku ada di halaman rumahnya.

“Iya, Ni, terima kasih. Saya hanya mau minta daun dhadhap.” Aku menjawab sambil masih memandangi Siti yang masih menunduk.

Mendengar jawabanku, Siti terlihat kaget. Sekelebatan ada rona merah gelap di wajahnya. Menatapku sebentar, dia langsung bergegas meninggalkan halaman. Tanpa pamitan kepadaku. Aku bingung. Seperti ada mata yang basah tadi. Sepertinya Siti tak ingin aku melihatnya. Apa dia menangis?

“Kamu ini! Tidak punya rasa kasihan sama perempuan.” Nini Carem menegurku.

“Kok bisa? Tidak kasihan bagaimana maksudnya, Ni?” Aku tak mengerti dengan tegurannya.

“Harusnya tadi kamu tak usah ngomong soal daun dhadhap segala. Si Siti jadi perasaan, tahu? Itu anak kan entah sebesar apa cintanya kepadamu. Sampai sekarang belum juga bisa melupakanmu. Bodoh benar kamu ini! Memang dasar bapakmu itu yang jadi gara-gara. Bapakmu itu yang menyebabkan Siti tak bisa jadi istrimu. Sudah sana, kalau mau metik daun dhadhap!”

Mendengar omongan Nini Carem yang panjang lebar itu aku segera lari ke jalan. Siti sudah jauh. Jalannya cepat sekali. Agaknya benar, ucapanku tadi membuatnya kecewa, juga marah.

Memang sekian lama pacaran aku tak pernah melihat kalau bapaknya Siti tak suka dengan kedatanganku. Kukira semuanya baik-baik saja. Hingga suatu hari, ketika bapakku kuminta datang ke sana melamar Siti untukku. Dengan halus lamaran kami tak diterima. Alasannya sederhana, hari lahir kami tak cocok untuk berjodoh. Gotong kliwon istilahnya. Tak bisa dibujuk, hubunganku dengan Siti hanya sebatas pernah pacaran. Tak bisa lebih dari itu.

Tapi seperti kata Nini Carem, aku akhirnya memang tahu bahwa yang menjadi penghalang jodohku dengan Siti bukanlah gotong kliwon itu. Sebenarnya memang, bapakku yang menjadi penyebabnya. Bapaknya Siti tidak ingin anaknya kelak menjadi janda. Pak Sadam bersikukuh kalau seorang anak itu pasti tak jauh beda dengan bapaknya. Orang tua itu sepertinya yakin kalu aku akan meniru bapakku. Menikah tak betah lama, lalu bercerai. Menikah lagi, cerai lagi. Mbokku sendiri adalah istrinya yang keempat dan itupun juga sudah diceraikannya. Jadi ya masuk akal juga jika bapaknya Siti mengkawatirkan nasib anaknya. Tapi apa iya, aku akan meniru bapakku?

Siti sudah tak terlihat. Layung di langit barat sudah hampir hilang. Aku berhenti, diam. Lupa kalau daun dhadhap yang belum kupetik itu sedang ditunggu untuk memandikan anakku yang lahir seminggu yang lalu. [Selesai]

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun