Hah! Ternyata aku ini memang bodoh. Mana ada perempuan yang suka berterus terang bilang cinta? Tapi caranya Siti ini memang membuatku deg-degan. Hah!
***
“Sudah lama kamu datang? Sini masuk, jangan di luar saja. Sama kamu sekalian, Ti!” terdengar suara Nini Carem begitu tahu aku ada di halaman rumahnya.
“Iya, Ni, terima kasih. Saya hanya mau minta daun dhadhap.” Aku menjawab sambil masih memandangi Siti yang masih menunduk.
Mendengar jawabanku, Siti terlihat kaget. Sekelebatan ada rona merah gelap di wajahnya. Menatapku sebentar, dia langsung bergegas meninggalkan halaman. Tanpa pamitan kepadaku. Aku bingung. Seperti ada mata yang basah tadi. Sepertinya Siti tak ingin aku melihatnya. Apa dia menangis?
“Kamu ini! Tidak punya rasa kasihan sama perempuan.” Nini Carem menegurku.
“Kok bisa? Tidak kasihan bagaimana maksudnya, Ni?” Aku tak mengerti dengan tegurannya.
“Harusnya tadi kamu tak usah ngomong soal daun dhadhap segala. Si Siti jadi perasaan, tahu? Itu anak kan entah sebesar apa cintanya kepadamu. Sampai sekarang belum juga bisa melupakanmu. Bodoh benar kamu ini! Memang dasar bapakmu itu yang jadi gara-gara. Bapakmu itu yang menyebabkan Siti tak bisa jadi istrimu. Sudah sana, kalau mau metik daun dhadhap!”
Mendengar omongan Nini Carem yang panjang lebar itu aku segera lari ke jalan. Siti sudah jauh. Jalannya cepat sekali. Agaknya benar, ucapanku tadi membuatnya kecewa, juga marah.
Memang sekian lama pacaran aku tak pernah melihat kalau bapaknya Siti tak suka dengan kedatanganku. Kukira semuanya baik-baik saja. Hingga suatu hari, ketika bapakku kuminta datang ke sana melamar Siti untukku. Dengan halus lamaran kami tak diterima. Alasannya sederhana, hari lahir kami tak cocok untuk berjodoh. Gotong kliwon istilahnya. Tak bisa dibujuk, hubunganku dengan Siti hanya sebatas pernah pacaran. Tak bisa lebih dari itu.
Tapi seperti kata Nini Carem, aku akhirnya memang tahu bahwa yang menjadi penghalang jodohku dengan Siti bukanlah gotong kliwon itu. Sebenarnya memang, bapakku yang menjadi penyebabnya. Bapaknya Siti tidak ingin anaknya kelak menjadi janda. Pak Sadam bersikukuh kalau seorang anak itu pasti tak jauh beda dengan bapaknya. Orang tua itu sepertinya yakin kalu aku akan meniru bapakku. Menikah tak betah lama, lalu bercerai. Menikah lagi, cerai lagi. Mbokku sendiri adalah istrinya yang keempat dan itupun juga sudah diceraikannya. Jadi ya masuk akal juga jika bapaknya Siti mengkawatirkan nasib anaknya. Tapi apa iya, aku akan meniru bapakku?