Agaknya orang tua Siti juga sudah maklum kalau aku sering mampir menemui anak mereka di bawah pohon jambu air. Bahkan di suatu sore yang lebat hujannya, mboknya Siti menyuruhku untuk berdiang mengusir dingin di dekat tungku gula. Di situlah aku bisa bercakap dengan Pak Sadam ayah Siti dan tahu kenapa gula jawa buatan Pak Sadam terkenal dan sedikit lebih mahal ketimbang gula jawa hasil pengrajin lainnya. Dalam obrolan itu, ternyata Pak Sadam tahu siapa aku dan juga mbokku yang memang janda cerai. Malah setelah hujan reda, pas pamitan aku diberi gula, katanya buat keperluan mbokku. Mungkin saja Pak Sadam tahu kalau semua kebutuhan dapur kami hanya mengandalkan pada pekerjaanku jual beli pisang. Tapi apa Pak Sadam juga tahu kalau aku ada maunya dengan sering menemui Siti?
Makain hari makin terbiasa. Kukira Siti sudah maklum apa keinginanku dengan sering menemuinya. Tak lama kemudian aku memberanikan diri. Siti terlihat tak terlalu kaget, meskipun dia langsung menunduk tak lekas menjawab. Aku diam, deg-degan dan menunggu. Siti tak memalingkan wajahnya, hanya mungkin matanya melirik sedikit kepadaku.
Aku tak cukup sabar. Ada rasa takut kalau Siti tak menerima cintaku. Aku lantas mendekat dan berucap, “Bagaimana, Ti? Kamu mau apa nggak?"
Siti belum juga menjawab. Menunduk, tangan kanannya mengelus-elus telapak tangan yang kiri. Diam saja, tak mengangguk tak pula menggeleng. Menatapku sebentar, senyum sekelebatan, lalu bergegas masuk rumah. Sapulidinya masih bersamaku. Tentu saja itu membuatku bingung.
Aku mengejar dan kuraih tangannya. “Ti, kamu jengkel ya? Aku nggak maksa, kok. Hanya menyampaikan isi hatiku. Kalau itu membuatmu marah, ya aku minta maaf. Besok-besok aku nggak akan mampir mengganggumu lagi.”
Siti menarik tangannya. Sebelum kembali bergegas ke rumah, disempatkannya memukul tanganku. Aku terhenyak. Hatiku mengeluh. “Berarti salah dugaanku. Kukira Siti senang jika aku main ke sini. Dhuh!”
Hatiku tak karuan rasanya. Ada malu, ada kecewa. Kecewa sekali. Apa selama ini Siti hanya sekedar menyenangkan hatiku saja? Sama sekali tak ada rasa sedikitpun kepadaku? Sungguh-sungguh nantinya aku tak lagi mampir kalau ke kebun? Tak lagi memandangi Siti yang hitam manis itu? Dhuh!
Siti belum sampai ke pintu. Aku ingin segera pergi. “Ti, aku pulang.”
Tak menunggu jawaban, sambil menatap langit aku keluar dari halaman. Baru juga sampai di bawah pohon jambu air, terdengar suara Siti. “Besok jangan kesorean kalau mampir!”
Dheg! Aku kaget dan segera berbalik. Siti kudekati. “Ti, maksudnya...?”
Siti malah menjebikan bibir. Tangane mengusirku. “Hmmm..orang bodoh! Sana cepat pulang! Besuk kalau mampirnya jangan kesorean. Awas kalau nggak nurut!”