Mohon tunggu...
Dwi Khusnul Alfiah
Dwi Khusnul Alfiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Supersemar: Mengungkap Kontroversi Dibalik Surat Sakti Yang Mengubah Sejarah Indonesia

10 Desember 2024   08:40 Diperbarui: 10 Desember 2024   08:36 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kejadian 11 Maret 1966

Pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Merdeka Jakarta terjadi demonstrasi. Pada saat itu presiden Soekarno sedang mengadakan rapat cabinet di Istana. Setelah rapat dimulai, salah satu petugas pengaman presiden yaitu Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur memantau Kawasan sekitar istana, kemudian melihat sekelompok pasukan liar berkumpul di halaman Istana Presiden.

Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur yang melihat sistuasi itu segera menulis surat pemberitahuan dan menghubungi Pangdam V Jaya Brigjen Amir Mahfud agar diberitahukan kepada presiden mengenai adanya sekelompok pasukan di sekitar Istana tersebut. Namun Brigjen Amir Mahfud tidak memberikan surat pemberitahuan tersebut kepada Presiden. Akhirnya Brigjen Sabur sendiri yang memberikan surat itu secara langsung.

Presiden Soekarno yang mendengar laporan itu, memutuskan untuk meninggalkan rapat dan menyerahkan keberlanjutan rapat kepada Wakil Perdana Menteri IV yaitu Leimana. Presiden Soekarno ditemani dengan Wakil Perdana Menteri 1 yakni Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III yakni Chaerul Saleh segera bergegas dengan helikopter menuju Istana Bogor. Eros Djarot dalam bukunya "Misteri Supersemar" menyatakan yang dimaksud pasukan liar ialah pasukan Kostrad yang berencana menangkap Soebandrio. Hal ini karena Soebandrio di curigai sebagai salah satu orang yang terlibat dalam Gerakan 30 september yang di pimpin oleh PKI.[1]

 

Terbitnya Supersemar

 

Setelah mengetahui keadaan sebenarnya di Istana Jakarta, Brigjen Amir Mahmud segera melaporkan insiden itu kepada Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Pangkobkamtib setelah Ahmad Yani gugur dalam G30S. Begitu menerima laporan, Soeharto segera mengutus Brigjen Amir Mahmud, Brigjen Basuki Rahmat, dan Brigjen M. Jusuf untuk bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka bertugas menjelaskan peristiwa dan situasi yang terjadi di Istana Jakarta, serta menyarankan tindakan yang perlu diambil untuk mengatasi kondisi tersebut.

 

Dalam pertemuan itu, Soeharto, melalui tiga jenderal yang mewakilinya, menyatakan kesediaannya untuk menangani situasi yang ada. Namun, ia memerlukan mandat resmi dari Presiden Soekarno untuk melaksanakan hal tersebut. Oleh karena itu, Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto melalui ketiga jenderal itu untuk "mengambil segala tindakan yang diperlukan" dalam menghadapi keadaan darurat. Penyerahan mandat ini kemudian dikenal dengan sebutan 'Supersemar'.[2]

 

Kontroversi Munculnya Supersemar

 

Naskah Supersemar sendiri menjadi sumber kontroversi karena ada berbagai versi yang beredar. Kontroversi ini mencakup segala hal, mulai dari penerbitan Supersemar hingga keaslian dokumen itu sendiri.

 

Penerbitan Supersemar yang kontraversi, Pengawal presiden yakni Letnan Satu Sukarjo Wilardjito menyatakan bahwa yang menemui Presiden Soekarno saat itu ialah Brigjen Maraden Panggabean, Brigjen Basuki Rahmat, Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Amir Mahfud sebagai empat perwira tinggi Angkatan darat. [3]  

 

Letnan Satu Sukarjo Wilardjito dalam peristiwa supersemar juga menyatakan bahwa Brigjen M. Jusuf membawa sebuah map berlogo markas besar Angkatan Darat berwarna merah. Presiden Soekarno dipaksa menandatangani surat tersebut oleh Brigjen Maraden Panggabean dan Brigjen Basuki Rahmat dengan mengarahkan pistol ke Presiden. Pada akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat tersebut dan berpesan kepada para perwira apabila situasi sudah Kembali pulih maka surat mandat tersebut harus dikembalikan. 

 

Berbeda dengan kesaksian Letnan Sukardjo Wiloto, ia menyatakan bahwa utusan dari Jenderal dayang ke Bogor tidak mengarahkan pistol kepada Presiden dan meminta Presdien Soekarno menandatangi surat dengan baik-baik. Letnan Sukardjo Wiloto juga menyatakan bahwa Brigjen Amir Mahfud saat di Istana Merdeka menghubungi pengawal Presiden di Bogor yaitu Kombes Soemirat, untuk meminta izin berkunjung. dan setelah mendapat izin ketiga jenderal itu segera berangkat dari Istana Jakarta menuju Istana Bogor.

 

Surat Perintah Sebelas Maret berisi:[4]

 

  • Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi;
  • Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya;
  • Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

 

Kesimpulan

 

Peristiwa 11 Maret 1966 dan penerbitan Supersemar mencerminkan ketegangan politik yang melibatkan Presiden Soekarno dan militer Indonesia pada masa itu. Demonstrasi di sekitar Istana Merdeka memicu tindakan cepat dari pihak militer, dengan Brigjen Sabur melaporkan situasi yang membahayakan kepada Pangdam V Jaya, Brigjen Amir Mahmud. Setelah menerima mandat dari Soekarno, Soeharto dan tiga jenderal lainnya bertindak untuk menangani keadaan darurat, yang kemudian menghasilkan kontroversi mengenai keaslian dan konteks Supersemar. Saksi mata memberikan versi berbeda tentang cara penyerahan mandat, menambah kompleksitas dalam memahami peristiwa tersebut. Supersemar menjadi titik balik penting dalam sejarah Indonesia, di tengah berbagai narasi dan pandangan yang saling bertentangan.

 

Daftar Pustaka

 

Desy Endrayani, Tri, and E Wagiyah Abstrak. "Peranan Jendral Suharto Dalam Melahirkan Orde Baru Tahun 1965-1968." Jurnal Pendidikan Dan Penelitian Sejarah 2, no. 1 (2021): 41--50.

 

Jarot, Eros. Misteri Supersemar. Jakarta: Media Kita, 2006.

 

Mahardika, Ahmad Gelora. "Problematika Yuridis Penerbitan Surat Perintah Sebelas Maret Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia." Jurnal Hukum Dan Perundang-Undangan 3, no. 1 (2023): 1--19.

 

Maulana, Rizki, Adelia Fransisca Br Ginting, Dina Septiyana, and Sion Angelica Pardede. "Rahasia Terungkap: Menganalisis Dinamika Keamanan Pers Pada Masa Orde Baru (1966-1998)." AL-ULUM: Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora 9, no. 2 (2023): 64. https://doi.org/10.31602/alsh.v9i2.12664.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun