Dalam proses pengasuhan anak, kadangkala orang tua menemukan titik kebimbangan apakah pola asuh yang diterapkan sudah tepat atau belum. Lantaran orang tua pada suatu waktu dihadapkan pada beragam persoalan dalam fase mendidik anak yang belum diperoleh jalan keluarnya.
Adakala orang tua dihadapkan pada situasi yang "menjengkelkan" perihal ulah sang anak. Terlebih orang tua dalam kondisi lelah selepas bekerja atau urusan lainnya sehingga tersulutlah emosi yang menjelma amarah pada anak berupa omelan, bentakan, atau kata-kata kasar.
Padahal, sebelumnya orang tua sudah berkomitmen untuk mendidik anak dengan cara lembut tanpa adanya "kekerasan" lagi kasar. Situasi dan kondisi yang berbeda seringkali membuat kelabilan emosi orang tua dalam mendidik pada anak.
Orang tua bersikap lembut dikira lembek dan memanjakan anak.
Orang tua bersikap tegas tapi anak gak ngerti-ngerti dan bersikap bodo amat.
Orang tua bersikap keras tapi anak kok terus-terusan bikin kesal karena berbuat kesalahan.
Lantas, bagaimana seharusnya sikap orang tua?
Penulis pernah membaca sebuah nukilan nasihat bahwa menjadi sosok orang tua berarti siap belajar seumur hidup dan siap menerima ujian yang datang sewaktu-waktu. Adapun salah satunya yaitu ujian dalam mendidik buah hati.
Pada artikel ini penulis akan membahas 3 sikap orang tua dalam mendidik anak dengan cara lembut, tegas, dan keras. Agar orang tua bisa mengambil langkah tepat dalam proses mendidik anak.
Adapun sebagai contoh, seorang anak balita yang dilarang keras makan coklat oleh ibunya demi menjaga kesehatan gigi sang anak. Akan tetapi, pada suatu waktu ada orang lain memberi anaknya coklat dan sang ibu mengizinkan dengan alasan tidak enak untuk menolaknya. Sang ibu juga tidak tega lantaran anaknya menangis karena ingin makan coklat hingga pada akhirnya mengabulkan permintaan anak.
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa sikap sang ibu keras tetapi tidak tegas. Bahkan ibu tersebut justru malah jadi terkesan "lembek" atau lembut tapi tak mendidik. Sebaiknya sang ibu bisa menolak pemberian orang tadi secara halus dan alasan yang jelas.
Tegas Tidak Harus dengan Membentak
Dikutip dari kompas.com, psikolog anak Unika Soegidjapranata Semarang Christin Wibhowo menyampaikan bahwa saat anak dibentak akan memunculkan rasa takut sehingga dampaknya dapat merusak sel otak. Terlebih anak berada di bawah ancaman, tekanan, atau stres.
Jumlah saraf yang ada di otak berkurang ketika anak dimaki-maki, kata-kata kasar, bukan hanya fisik. Hal demikian dapat berimbas pada kondisi intelegensi emosional seperti anak tidak percaya diri, bodoh karena kurang stimulasi, mudah takut, berpengaruh pada fisik, dan sebagainya.
Pentingnya para orang tua menyadari hal demikian. Agar orang tua bisa tetap bersikap tegas tanpa adanya bentakan.
Sebagaimana yang penulis alami dalam mendidik si kecil seperti membiasakannya untuk tidak memboyong mainan ke atas kasur apalagi waktu menjelang tidur. Penulis memintanya untuk merapikan dan meletakkan mainannya kembali ke tempat semula.
Jika didapati si kecil menangis, tidak mengapa "membiarkannya". Mainan tetap harus dikembalikan ke tempatnya atau tidak berada di atas kasur lagi. Sampaikan secara tegas dan konsisten alasannya maka diharapkan lambat laun anak menjadi menuruti tanpa adanya tangisan.
Begitu pula ketika penulis menemani si kecil menjelang tidur. Seringkali ia mengajak ngobrol orang tuanya hingga larut malam padahal sudah membaca doa sebelum tidur. Maka, yang penulis lakukan yakni memberinya peringatan seperti jika anak ngobrol terus maka pendingin ruangan (AC) akan dimatikan karena ia tidak segera tidur sedangkan ibunya atau bapaknya sudah kedinginan.
Karena biasanya jika si kecil tidur pulas AC dimatikan, barulah beberapa waktu dinyalakan kembali menyesuaikan kondisi. Akhirnya AC tetap nyala dan si kecil beranjak tidur. Ini bukan sebuah ancaman akan tetapi sebagai upaya mengenalkan anak pada sebuah konsekuensi dan sikap tegas. Menyampaikannya secara lembut dan tidak buru-buru marah bahkan hingga bersikap kasar.
Contoh lainnya, saat si kecil belajar hafalan surat-surat pendek, adakalanya penulis meninggikan suara dengan maksud anak bersungguh-sungguh dengan hafalannya dan bisa fokus walau hanya dalam hitungan menit.
Penulis juga seringkali menyampaikan permintaan maaf di akhir sesi belajar si kecil apabila telah membuatnya tidak nyaman. Hal demikian semata-mata untuk membentuk perilaku disiplin atas`setiap aktivitas yang ia kerjakan atau lalui.
Penulis meyakini bahwa ketegasan orang tua sangat diperlukan oleh anak. Ia memerlukan keyakinan dan pijakan yang kokoh. Maka dari itu, pentingnya mengajarkan anak tentang dua hal. Pertama, betapa pentingnya bersikap konsisten terhadap aturan, keyakinan, dan agama. Kedua, komitmen tidak bernilai tanpa konsistensi.
Anak tidak dapat belajar memiliki komitmen ketika melihat bagaimana perkataan mudah diciderai. Oleh sebab itu, pentingnya orang tua agar berpegang teguh pada prinsip pengasuhan dan tidak mudah goyah.
Dampak Buruk Mendidik dengan Keras Berlebihan
Mendisiplinkan anak dengan cara yang keras faktanya tidak membuat mereka tangguh. Hal demikian akan berimbas pada masalah kesehatan mental dalam jangka panjang. Contoh pola pengasuhan yang keras seperti berteriak, menghukum secara fisik, mengurung anak, melukai harga dirinya, atau menghukum berdasarkan suasana hati (mood) orang tua.
Anak akan tumbuh menjadi pribadi yang terlalu khawatir, berperilaku agresif, terlalu malu dekat dengan orang lain, tidak mudah bersosialisasi, dan sulit mengendalikan diri.
Disiplin ketat atau disiplin yang keras juga dapat berisiko menyudutkan anak untuk terpaksa berbohong demi menghindari hukuman. Tipikal orang tua yang menerapkan parenting demikian biasanya hanya memberi perintah, tidak memberi toleransi, seringkali mengomel dan menghukum, serta hanya memuji hasil terbaik anak.
Sebenarnya mengomel dan menghukum adalah dua hal yang menjadi "bumbu" dalam proses pengasuhan anak. Akan tetapi, penting kiranya orang tua pahami agar melakukannya dalam batasan wajar dan penuh kesadaran. Mengingat beberapa dampak buruknya dapat berimbas pada tumbuh kembang anak yang sulit mandiri dan kurang kreatif lantaran orang tuanya ngomel mulu. Maka, sebaiknya orang tua juga memberikan hukuman yang disertai penjelasan dan sarat edukasi.
Pentingnya Orang Tua "Ngilmu"
Kebiasaan pengasuhan anak dengan kelembutan dan ketegasan tentunya akan memberi contoh pada anak untuk melakukan hal sama. Begitu pula ketika orang tua berkata kasar atau perilaku negatif lainnya, maka anak pun akan menirunya.
Oleh sebab itu, pentingnya orang tua "ngilmu" agar bisa mendidik anak sesuai dengan aturan batasan dan takaran yang tepat. Hal demikian sebagai upaya orang tua berusaha melatih diri disertai ilmu. Tanpa mengilmu, maksud hati mendidik dengan penuh kelembutan kepada anak tetapi akibatnya justru tidak mendidik.
Begitupun pada sikap tegas, agar ketegasan tidak menjelma menjadi sikap keras lagi kasar. Sikap keras apalagi kasar berbeda dengan tegas. Sikap keras rentan mudah marah tetapi keputusannya cenderung dengan cepat berubah.
Lantas, bolehkah orang tua meninggikan suara untuk memperingatkan anak?
Boleh, asal tidak dibarengi emosi lain. Karena yang dikhawatirkan emosi orang tua dilampiaskan kepada anak melalui bentakan.
Ketika orang tua mendidik anak dengan keras maka harus dibarengi dengan kebutuhan sang anak untuk dihargai dan disayangi. Adakala harus "dikerasin" supaya paham. Adakala harus "dihalusin" supaya paham. Mengingat karakter anak berbeda-beda.
*****
Pada akhirnya, kita menjadi mengerti bahwa mendidik anak dengan lembut dalam suasana hangat akan mendukung dan memperhatikan kebutuhan anak. Mendidik anak dengan tegas akan mengajarkan sikap konsisten dalam menetapkan ekspektasi dan aturan yang jelas. Serta, mendidik dengan keras sesuai takaran batas yang tidak menjurus pada tindakan "kasar" baik psikis maupun fisik dapat mencetak generasi yang tangguh.
Mari mencetak generasi yang patuh bukan karena takut, berprestasi bukan karena paksaan atau ambisi orang tua semata. Inilah pentingnya menjadi orang tua bijaksana yang mendidik anak dengan penuh kelembutan, ketegasan, dan keras pada porsinya. Ketiganya dapat diterapkan asal tahu ilmunya dan sesuai takaran yang tepat.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H