Di Jepang telah ada jurnalis robot 3D yang dapat berbaur di tengah kerumunan massa. Wartawan robot ini memiliki kemampuan untuk melakukan wawancara, memotret, dan bahkan mengarang sebuah cerita.
Namun, yang patut kita sadari bahwa robot tidak bisa selincah manusia yang mampu menangani permasalahan sesuai situasi dan kondisi di lapangan saat liputan misalnya.
Coba bayangkan apabila suatu ketika presenter robot sedang meliput musibah bencana alam. Pada saat sedang mewawancarai salah satu narasumber ternyata terdapat kejadian di luar dugaan misalnya seperti tersenggol atau tertabrak seseorang.
Maka tidak menutup kemungkinan presenter robot ini akan merespon sesuai kinerja yang tersusun pada "syaraf kerjanya" bukan sesuai situasi dan kondisi yang ada. Pada akhirnya situasi menjadi berubah tidak sesuai ekspektasi.
Maka hal demikian mengonfirmasi bahwa kurangnya kemampuan untuk menafsirkan situasi yang kompleks. Teknologi hanyalah alat yang juga memiliki risiko kesalahan teknis yang berujung pada informasi yang tidak akurat dan merugikan.
Lain halnya dengan presenter manusia, banyak hal yang bisa dinilai oleh hati nurani manusia. Misalnya, memperingatkan dengan segera kepada orang yang menyenggol atau menabrak tadi agar lebih berhati-hati. Apabila orang tersebut meminta maaf, maka presenter manusia akan merespon baik sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
"Soal rasa dan nurani, (jurnalis) tidak akan pernah tergantikan." (Aiman Witjaksono). Â
Presenter AI sebagai pelengkap bukan pengganti
Kehadiran presenter AI akan semakin "sempurna paripurna" karena kemampuannya yang terus berkembang seperti kedua tangannya akan bergerak semakin luwes layaknya manusia. Selain itu, presenter virtual ini akan mampu berbicara bahasa asing dan bahasa daerah dengan baik.
Hemat penulis, secanggih apapun wartawan robot, presenter AI, dan jurnalis otomatis, tetap saja diperlukan pengawasan. Pemegang kepastiannya harus tetap dikendalikan oleh manusia. Mengingat jurnalis terus berpegang pada norma, etika, dan hukum yang berlaku.
Sentuhan kecerdasan buatan yang hadir di layar televisi ini akan semakin melengkapi khasanah dunia pertelevisian di Indonesia. Dengan demikian, kolaborasi antara manusia dengan jurnalisme otomatis ini dalam ruang lingkup redaksi akan saling melengkapi.