Pada suatu malam menjelang tidur si kecil, terjadi percakapan “serius” antara saya dan si kecil di atas kasur.
“Ummi sana lanjut buat tugas, kakak mau tidur sendiri,” ucap si kecil yang terbiasa menyebut dirinya sendiri “kakak”.
“Nanti ya, kepala ummi masih sakit. Ummi mau nemeni kakak tidur dulu, boleh?,” jawab saya.
“Udah sana ummi lanjut buat tugas, selesaikan dulu!,” tambahnya.
Dengan rasa sedikit kecewa, saya membatin. Kok kakak tidak respek sama ibunya yang sedang sakit kepala, ya. Tidak ada inisiatif apa, gitu.
Alhasil, saya coba pancing dengan sebuah kata-kata.
“Aduh, kepala ummi masih sakit banget nih. Kakak kok tidak mendoakan ummi biar cepat sembuh,” ucap saya dengan nada menggerutu.
“Iya, Ya Allah semoga sakit kepala ummi lekas sembuh biar cepat bikin tugas, Ya Allah,” tetiba kalimat tersebut terlontar dari mulut mungilnya.
Kepala saya serasa diguyur air, terasa sejuk kata-katanya.
Saya menyampaikan terima kasih kepadanya. Tidak sampai satu menit, si kecil kembali meminta saya untuk melanjutkan dan menyelesaikan tugas lagi. Dalam hati masih menggerutu, tetapi harus saya sadari bahwa anak saya baru saja berusia 4 tahun, jangan diambil hati, saya membatin.
Selang beberapa saat, sambil menaruh tangannya di tengkuk leher saya, tiba-tiba si kecil berkata, “Ummi, kakak pijitin ya, biar kepalanya cepat sembuh”.
Duh gusti, tambah meleleh saya. Alhamdulillah si kecil punya inisiatif untuk menunjukkan rasa empati kepada ibunya.
Empati bukan sekadar perintah namun benar-benar tumbuh dari dalam nurani. Meskipun awalnya ada “pancingan-pancingan” karena itu semata-mata bagian dari pola asuh sesuai dengan fase usianya. Semoga tanpa diminta tolong pun, empati adalah inisiatif yang terus bertumbuh dalam dirinya.
Apabila sikap empati sudah melekat dalam diri anak, maka itu menjadi salah satu bagian fondasi awal anak dapat bersosialisasi dengan baik terhadap teman sebayanya bahkan orang dewasa. Anak mengenali emosi orang lain, meminjamkan mainan kepada teman, berbagi makanan, dan sebagainya. Pada akhirnya, anak akan menjadi teman yang akan dirindukan kehadirannya oleh teman-temannya karena sikap penyayang dan empatinya.
Di usia dewasa, anak tumbuh menjadi pribadi yang peka akan kesulitan orang lain dan kelak menjadi orang tua yang teduh nasihatnya.
Empati atau timbang rasa adalah daya untuk memahami atau merasakan apa yang dialami orang lain dari sudut pandang mereka, yakni daya untuk menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain.
Empati merupakan hal mendasar yang harus orang tua tanamkan kepada anak sejak kecil. Oleh sebab itu, sebagai orang tua sebaiknya memberi contoh dan memulai rasa empati tersebut dari kita kepada mereka.
Sekalipun merasa anak harus pakai “kode-kodean” agar dirinya peka, hal tersebut bukanlah menjadi sebuah persoalan. Bahkan, tidak masalah jika misalnya kita berterus terang minta tolong langsung kepada mereka. Barulah pada suatu waktu atau momen tertentu orang tua dapat menasihatinya untuk membimbing perkembangan rasa empati dan kepekaannya.
Berikut saya sampaikan 4 cara unik orang tua membangun rasa empati pada anak, diantaranya :
1. Menunjukkan kesulitan kita
Saya mengambil pemisalan kondisi, misalnya saya baru selesai menjemur pakaian kemudian duduk bersandar di samping si kecil yang sedang asyik bermain.
“Uhm, bunda haus sekali selesai jemur pakaian”. Lalu, amati respon anak misal anak belum sesuai dengan yang kita inginkan, pancing kembali.
“Kakak tidak ambilkan bunda minum, gitu? kan bunda haus”. Kemudian amati kembali respon anak.
2. Mengajukan pertanyaan
“Aduh, kaki bunda pegel-pegel nih. Enaknya ngapain, ya”.
Biasanya si kecil langsung memijat kaki saya meskipun tenaga tak sebesar orang dewasa.
3. Menceritakan kondisi nyaman
“Wah, bunda barusan selesai menyapu nih sama merapikan mainan kakak. Lantai jadi bersih, mainan dan buku-buku kakak jadi tertata rapi, jadi lebih indah dipandang”. Eh, tapi kok sepatu kakak masih ada yang belum diletakkan di rak sepatu, ya. Jadi tidak rapi deh terasnya. Nanti kalau keinjak pas kita jalan gimana karena sepatu masih berada di depan pintu.
Mari kita memperhatikan respon anak lalu apa reaksinya.
4. Mengajak anak bermain peran
Misalnya bermain peran menjadi orang sakit. Menangis karena kesakitan, kemudian anak menyusun bantal. Kepala saya diangkat diminta tidur, lalu minum obat. Kalau saya tidak mau, saya langsung diambilkan minum air putih. Yang dilakukan si kecil benar-benar persis sama yang biasa saya lakukan kepadanya. Memang ya, anak peniru ulung.
Mari kita menerapkan cara-cara tersebut untuk membangun kemampuan empati anak. Disadari atau tidak, rasa empati pada anak dapat membentuk karakter baiknya di kemudian hari diantaranya sebagai bekal hidup bermasyarakat. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H