Mohon tunggu...
Khusnul Kholifah
Khusnul Kholifah Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dan Pendidik

Pencinta literasi sains, parenting, dan kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Perhatikan 4 Hal Ini Sebelum Memiliki Anak Jarak Usia Dekat

12 Desember 2023   23:26 Diperbarui: 15 Januari 2024   13:05 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga adalah hal yang diidamkan bagi pasangan yang sudah menikah. Terlebih pasangan tersebut sudah menantikannya sekian lama. Meskipun ada yang berbeda cerita seperti pasangan yang menunda kehamilan karena alasan tertentu dan ada pula yang ingin segera memiliki momongan.

Seiring berjalannya mahligai rumah tangga, pada umumnya orang tua memiliki momentum untuk membicarakan jumlah anak pada pasangan. Dengan demikian, bisa merencanakan jarak kehamilan serta jumlah anak.

Namun, kenyataan di lapangan tidak jarang kita dapati orang tua yang memiliki anak dengan jarak usia yang dekat. Selain faktor ketidaktahuan atau minimnya literasi, angka kelahiran dengan jarak dekat juga disebabkan oleh pasangan tidak memakai alat kontrasepsi misalnya dengan alasan takut disuntik, sehingga tanpa diketahui tiba-tiba mengandung calon anak kedua dengan jarak anak pertama yang begitu dekat.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak lagi menggunakan slogan "Dua Anak Cukup" maupun "Dua Anak Lebih Baik". 

Sejak 2020, BKKBN telah mengubah slogannya menjadi "Dua Anak Lebih Sehat". Hal tersebut menjadi perhatian saya bahwa bisa jadi sehat yang dimaksud bukan sekadar secara fisik tetapi juga psikis.

Bukan tanpa alasan jika BKKBN kini secara tidak langsung memperbolehkan memiliki lebih dari dua anak dalam satu keluarga karena itu hak subjektif setiap keluarga.

Sebagai contoh, banyak figur publik yang memiliki anak dengan jarak yang terlalu dekat dan ada pula yang memiliki banyak anak. 

Relevansinya dengan masa kini, sejauh orang tua bertanggungjawab penuh atas hak dan kewajibannya terhadap anak maka hal demikian tidaklah menjadi persoalan. Diperbolehkan "memperbanyak keturunan" dengan syarat mampu menjamin masa depannya meliputi kewajiban mendidik mereka.

Ilustrasi Ibu bersama dua balita (sumber: freepik)
Ilustrasi Ibu bersama dua balita (sumber: freepik)

Para figur publik mayoritas dengan penghasilan "di atas rata-rata" bisa menyewa jasa pengasuh untuk anak-anaknya. Sedangkan untuk masyarakat yang kategori kelas menengah ke bawah penuh pertimbangan untuk menyewa pengasuh mengingat penghasilan yang diperoleh. Bahkan, masih banyak masyarakat yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Dua Balita dalam Satu Keluarga

Dalam dialognya di salah satu stasiun televisi, Psikolog Elly Risman menyampaikan bahwa Ikatan Neurosains Indonesia (Neuroscience Society) beberapa tahun yang lalu pernah merekomendasikan jangan ada dua balita dalam satu rumah. 

Jadi, apabila berencana menambah momongan lewati umur lima tahun pada anak. Hal tersebut agar lebih mudah diatur, ibu lebih sehat, emosi ibu lebih terkendali, dan ada banyak hal lagi.

Seorang ibu bisa "me time" makan makanan dan minuman favorit dan tidak ada distraksi.  Demikian menjadi salah satu relaksasi untuk jeda sejenak rehat dari rutinitas yang "tidak ada habisnya". Anak sudah bersih dan wangi, rumah bersih dan rapi, dan ada makanan tersaji adalah suatu pencapaian yang luar biasa ketika memiliki seorang balita.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya status kesehatan orang tua dalam proses pengasuhan anak. Lebih jauh, ada dua balita dalam keluarga sangat mengonsumsi jiwa, pikiran, dan tenaga orang tua terutama ibu.

Setiap anak memiliki sejarah yang berbeda. Mulai dari dalam kandungan, status kesehatan ibu ketika hamil, belum lagi ibu mengalami Baby Blues. Oleh karena itu, penting kiranya ibu dan ayah mengevaluasi bersama agar hal-hal yang tidak diinginkan dan kejadian yang pernah dialami tidak terulang pada anak kedua dan seterusnya.

Konsekuensi dari adanya dua balita dalam satu rumah, orang tua harus siap dengan segala sesuatunya. Misalnya, terdapat balita berusia 1 tahun dan 3 tahun, maka orang tua harus menyiapkan setidaknya dua macam menu yaitu Makanan Pendamping ASI (MPASI) untuk balita 1 tahun, dan menu makanan keluarga untuk balita 3 tahun. 

Mayoritas balita 3 tahun belum mengenal rasa pedas, maka orang tua juga harus menyiasatinya agar makanan utama anak-anak dan orang tua terpenuhi tiga kali sehari dengan menu makanan bergizi. Sungguh membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran maksimal untuk menjalaninya.

Maka, terdapat 4 hal yang harus dipertimbangkan dan diperhatikan para orang tua sebelum memutuskan untuk menambah momongan atau memiliki anak kedua, diantaranya:

1. Kesehatan Jasmani

Tubuh wanita membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dan siap untuk mengandung lagi. Jika hamil dalam waktu dekat, maka akan berisiko apalagi jika persalinan sebelumnya dilakukan dengan operasi caesar.

Masa pemulihan ibu diharapkan bisa berjalan optimal misalnya pada penyembuhan luka setelah melahirkan baik pervaginam maupun operasi caesar. Dengan kondisi para ibu yang berbeda, ada yang tinggal di perantauan jauh dari keluarga dan ada pula yang dekat dikelilingi keluarga besar.

Bukan menyoal perhatian atau tidaknya keluarga besar, namun lebih kepada kemampuan ibu untuk menciptakan kemandirian agar fokus merawat, mengasuh, dan mendidik anak pertamanya. Apalagi saat anak sakit, yang satu rewel minta gendong, dan yang satu sedang GTM (Gerakan Tutup Mulut) saat MPASI. Segala probabilitas akan muncul sehingga penting orang tua mempersiapkan diri dengan matang untuk memiliki anak kedua.

Jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena pola asuh yang tidak tepat misalnya sering melewatkan waktu makan anak, anak terlalu banyak screen time, membiarkan anak lepas dari aturan, dan sebagainya. 

Namun, jika ibu tidak bisa meng-handel semuanya, maka dibutuhkan pertolongan keluarga besar misalnya nenek atau sewa pengasuh karena ibu juga harus istirahat serta tidur cukup.

2. Kesehatan Mental

Hal ini meliputi kesiapan orang tua dan anak pertama (untuk menjadi seorang kakak). Seorang ibu sebelum mendidik anaknya dan mengurus keluarga, harus berjuang untuk menyelesaikan urusan dengan diri sendiri. 

Berdamai dengan diri sendiri mengingat banyak hal yang akan dihadapi karena salah satu imbas dari kelabilan emosi yang tidak dikontrol dengan baik saat pengasuhan menjadikan orang tua mudah marah.

Bagaimana membuat kedua balita kita akur misalnya tidak berebut mainan dan makanan, menekan risiko persaingan kakak-adik, dan membangun kedekatan dengan anak di tengah kesibukan bekerja, dan lain-lain. 

Keseimbangan perlakuan kepada adik-kakak ini juga upayakan tidak menimbulkan kecemburuan berlebih misal karena orang tua lebih banyak perhatian kepada salah satunya.

3. Kondisi Finansial

Berbicara ranah finansial adalah hal yang krusial karena menyangkut berbagai aspek sebagai penunjang keberlangsungan kehidupan.

Indonesia merupakan negara yang penduduknya memiliki status ekonomi beragam sehingga memengaruhi kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari meliputi level gizi, jenis makanan yang tersedia, serta anggaran belanja dari penghasilan atau pendapatan.

Jika orang tua dirasa mampu dan siap untuk menambah momongan, secara otomatis kebutuhan rumah tangga dan lain-lain akan bertambah. Hal tersebut juga meliputi perencanaan dana pendidikan anak yang jarak usianya relatif dekat.

4. Kehamilan Terencana

BKKBN dalam sosialisasinya kampanyekan untuk hindari 4T, yaitu: (1) tidak hamil di usia "terlalu muda", (2) tidak hamil atau melahirkan di usia "terlalu tua" di atas 35 tahun, (3) tidak "terlalu dekat" jarak antar kehamilan, (4) tidak "terlalu sering hamil/banyak" melahirkan anak.

Berdasarkan hal tersebut, usia ibu yang dianjurkan hamil yaitu di bawah usia 30 tahun dan tidak melebihi usia 35 tahun. Disamping itu, waktu yang tepat untuk hamil anak kedua idealnya berjarak 2- 4 tahun dengan pertimbangan kondisi kesehatan yang pulih pasca operasi caesar misalnya.

Kehamilan terencana bertujuan agar orang tua siap secara fisik, mental, serta finansial sehingga memberikan kemudahan dan kelancaran dalam menjalaninya. Oleh karenanya, komunikasi pasangan sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan.

Orang tua harus memastikan kebutuhan fisik dan psikis anak. Contoh kebutuhan fisik meliputi rutinitas gosok gigi minimal 2 kali sehari, mandi dua kali sehari, makan bergizi tiga kali sehari, jajan tidak sembarangan, asupan minum tercukupi, menjaga kebersihan mainan, memastikan lingkungan bermain tidak berpotensi bahaya, dan sebagainya. Contoh kebutuhan psikis meliputi kasih sayang, perhatian, nada bicara yang tenang, dan validasi perasaan kepada anak.

Kenampakannya itu adalah sekumpulan teori-teori, namun apabila kita mampu mengaplikasikannya, hal tersebut berdampak baik ke depannya. Anak tidak hanya butuh makan. Namun, kehadiran dan tangki kasih sayang harus terus terpenuhi oleh orang tua kepada anak. 

Jika sudah diniati, berdoa agar dirahmati, dikuatkan, dimampukan menjalani peran ini untuk mendidik anak dengan sepenuh hati. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun