Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prilaku Idealis-Pragmatis Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik Menuju Skenario Sosialis-Religiositas

12 November 2024   11:39 Diperbarui: 14 November 2024   17:29 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pesan moral-politik dalam artikel opini ini adalah berupa skenario pergerakan dan gagasan ideologi baru melalui gerakan revolusi mental, menuju pembaharuan Indonesia emas 2045.

Realisasi skenario gerakan ditujukan kepada para aktivis kader/anggota NGO lintas isue program, kader/anggota Ormas sosial-keagamaan (PBNU dan PP Muhammadiyah), hingga para kader/anggota organisasi gerakan sosial-ekonomi-lingkungan, yang memberi tugas konsolidasi dan mobilisasi rakyat menuju kemartabatan dan kemandirian di atas kedaulatan politik pemerintah desa dan Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Tawaran skenario ini dilatari dari potret pertarungan para pelaku ekonomi ditingkat tapak/desa/adat yang sejatinya sama kejadiannya dilingkaran elite birokrat pemerintah daerah hingga pusat. Praktik konspirasi antara elite partai dengan elite birokrat beserta para pengusaha kelas kakap dilingkaran pemerintah pusat itu, juga sama kejadiannya di tingkat tapak/desa/adat.

Praktik monopoli, transaksi hutang-gadai, praktik nepotisme jabatan perangkat Pemdes, praktik kolusi-korupsi pembagian dan penyaluran bantuan sosial pemerintah, hingga menggantungkan harga diri keluarga kepada para pemilik warung sembako yang sekaligus me- representasi-kan sebagai pemilik modal dan pengatur kebijakan Kepala Dusun/Desa.

Fenomena personal terkait “godaan kemapanan hidup” agar tetap eksis dengan status sosial di era kemenangan sistem kapitalis, telah memprovokasi prilaku individu maupun kelompok tertentu cenderung melakukan praktik secara instan, pragmatis, oportunis, hingga kehendak memonopoli demi pemenuhan kebutuhan materialismenya.

Begitu rigid dan berlikunya proses membangun dan mempertahankan bidang usaha/bisnis yang dikelola, atau karena keadaan tertentu diluar aturan, telah mempengaruhi rasionalitas cara berfikir dan bertindak setiap individu, semata demi tujuan individualitasnya, ataupun menjaga dan mempertahankan eksistensi institusi atau bisnis usahanya.

Faktanya memang sulit untuk menghindar bagi para pelaku bisnis hingga berlindung dibalik pembenaran paling logis dan moderat, yaitu demi menjaga keberlangsungan usaha dan memenuhi kewajiban membayar gaji karyawan sebagai tanggung jawab moral-hukumnya. Fenomena inilah yang memprovokasi prilaku kompetisi tanpa peduli soal etik-moral, hingga esensi halal-haram sekalipun.

Kemenangan praktik monopoli dan sistem ekonomi kapitalis global saat ini, memang dibutuhkan atau harus ada penyeimbang sebagai antitesis tandingan yang kehadirannya diposisikan sebagai pelaku ekonomi alternatif. Setidaknya ada peluang menerapkan praktik bisnis yang dijalankan dengan semangat religiusitas, moralitas, dan etik menuju cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai misal, fenomena kesediaan PBNU dan PP Muhammadiyah yang bersedia menerima dan memanfaatkan peluang politik yang ditawarkan pemerintah dengan sebuah izin usaha pemanfaatan (IUP) dari menteri untuk mengelola tambang merupakan suatu keniscayaan politik-ekologi saat kekinian.

Pro-kontra kalangan intelektual, akademisi, hingga para aktivis NGO lingkungan soal kesediaan Ormas sosial-keagamaan PBNU dan PP Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah mengelola konsesi tambang, bisa ditafsirkan sebagai skenario mewujudkan “Prilaku Idealis-Pragmatis Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik Menuju Skenario Sosialis-Religiusitas” sebagaimana judul artikel opini ini.

Kecurigaan secara berlebihan hingga mengarah tuduhan pemikiran destruktif soal pengelolaan tambang yang dijalankan BUMN dan perusahaan swasta, harus dibuktikan dengan menghadirkan subjek pelaku pembanding. Personifikasi subjek pelaku dimaksud, representasinya diwakili Ormas sosial-keagamaan PBNU dan PP Muhammadiyah.

Perdebatan sengit mengenai konsep pemikiran secara multi perspetif berbasis dalil maupun teori, diduga terjadi sangat dinamis sebelum ada keputusan final dari kedua ormas keagamaan itu. Setidaknya ada pertaruhan nama baik dan harga diri organisasi, ketika PBNU dan PP Muhammadiyah menerima tawaran dengan jalur hak prerogatif Presiden melalui kementerian yang mengurusinya.

Simulasinya, jika pelaku pembanding bisa membuktikan langkah dan strategi pengelolaan tambang yang tidak mengabaikan dampak lingkungan, keuntungan nilai finansial secara signifikan, penyumbang APBN lebih besar dari sebelumnya, serta mampu mem-berdaulat-kan dan mensejahterakan khususnya warga desa/adat sekitar areal konsesi Tambang, maka selamatlah nama baik dan harga diri organisasi.

Slogan lebih baik “dikelola lembaga keagamaan meski juga terjadi praktik KKN” dari pada “dikelola Asing dan Aseng” wajib disuarakan secara lantang. Harus ada tindakan politik “menyelamatkan yang bisa diselamatkan” sebelum “tergadaikan kepada pihak Asing atau Aseng secara permanen”.

Prilaku Idealis-Pragmatis

Ketersediaan ragam potensi SDA dengan hasil panen yang melimpah di tingkat tapak/desa, sesungguhnya bisa menjadi berkah atau sebaliknya musibah secara struktural. Musibah karena sistem dan praktik perdagangan belum menghargai dan melindungi hasil pekerjaan dengan berbagai masalah yang harus dihadapi dan dijalankan para petani/pekebun/penambang petani.

Peran pemerintah, pengusaha, tengkulak, dalam faktanya belum sepenuhnya bisa/berani memberi jaminan kepastian untuk membeli hasil panen para petani dengan harga yang bisa memberi motivasi agar lebih bersemangat meningkatkan kwalitas mutu dan hasil produksi panen petani dimasa-masa selanjutnya.

Permasalahan soal ketersediaan dan harga pupuk, persyaratan sertifikasi dan kwalitas hasil panen, hingga persyaratan legalitas kelembagaan, semuanya dibebankan dan harus dilakukan petani dengan kontribusi modal sosial-material yang harus dikeluarkan tanpa ada pengganti secara signifikan dari pihak manapun.

Walaupun ada program bantuan pemerintah atau keterlibatan/pendampingan NGO dengan berbagai programnya, harus diakui bahwa semuanya masih belum signifikan dengan konsekwensi dampak sosial-politik-budaya secara jangka panjang dalam kehidupan warga masyarakat desa/adat.

Berdasarkan paparan di atas, sejatinya ada peluang dan kesempatan bagi para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan yang beraktifitas ditingkat tapak/desa/adat berbuat dan merebutnya sebagai pelaku bisnis berbasis social enterpreneur. Upaya memposisikan peran sebagai pelaku bisnis ini merupakan terjemahan dari prilaku idealis-pragmatis atas situasi yang terjadi di tingkat tapak/desa/adat saat ini.

Prinsip idealisme menurut teori Hegelian, simpulannya bisa ditafsirkan bahwa semua realita harus disepadankan dengan subjek, sehingga untuk mewujudkannya juga harus mementingkan rasio. Relatif berat dan rumit untuk menterjemahkan sekaligus merealisasikan teori Hegelian ini.

Tafsir dari simpulan kalimat di atas bisa dimaknai maksudnya bahwa “ketidakberdayaan para petani bukan karena malas, tetapi sistem kapitalis yang menjadikannya tidak berdaya secara struktural. Untuk membela dan me-merdeka-kan petani harus, diperlukan strategi pemberdayaan alternatif sekaligus memposisikan diri sebagai pengayom dan mediator aspirasi para petani/pekebun/penambang petani”.

Sedangkan tindakan konkrit bagi para anggota/kader aktivis NGO dan Ormas sosial keagamaan untuk mewujudkan sebagaimana tafsir teori Hegelian di atas, pilihan salah satunya bisa dengan cara memperjuangkan dan mewujudkan dengan segera agar WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) bisa dikeluarkan untuk kepetingan koperasi masyarakat desa/adat. Lebih baik menyetor pajak secara resmi untuk kontribusi APBN pemerintah, daripada harus “bayar upeti kepada para preman berseragam”.

Peluang kemungkinan lainnya, bisa dengan cara memberi keteladanan melalui berbagai kegiatan/pekerjaan nyata dengan berbagai contoh keberhasilannya. Dengan demikian para petani/pekebun/penambang bisa langsung meniru dan mengikuti langkah-langkah menuju keberhasilan demi peningkatan kesejahteraan hidup para petani/pekebun/penambang.

Keteladanan prilaku para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan diatas merupakan wujud skenario “Prilaku Idealis-Pragmatis”. Suatu tindakan nyata ketika melihat ketidakadilan, dengan bekal pengetahuan, kesadaran dan keyakinan, berani bertindak mengambil alih peran strategis-politis untuk melindungi dan meningkatkan nilai potensi SDA dikelola para petani/pekebun/penambang di tingkat tapak/desa/adat.

Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik

Praktik penerapan sistem perdagangan bebas dalam sistem kapitalis, telah menguntungkan sekaligus menguatkan para pemilik modal berikut jaringan pasar yang mereka kuasai. Konsekwensi logis dari pola dan sistem ini, mendegradaskan eksistensi petani gurem ditingkat tapak/desa/adat yang menguasai alat produksi (lahan/kebun berikut hasil panen) secara mayoritas.

Alat produksi menjadi tidak lagi memberi jaminan hidup sejahtera bagi petani, karena tidak mampu menghadapi persaingan dan persyaratan dari sistem kapitalis. Fenomena ini menjadi semakin tragis, katika pemilik modal berupaya menambah jumlah/luasan aset alat produksi dengan berbagai cara, ingin menguasai dan mengendalikan rantai pasok dan rantai pasar dengan skema monopoli.  

Setiap pelaku bisnis tentu berupaya keras ingin meningkatkan nilai usaha yang dijalankan. Semangat itulah yang memicu skenario monopoli untuk merespon praktik perdagangan dalam sistem kapitalis. Penguasaan dan pengamanan bahan baku hingga pengelolaan dan pemasaran produk hulu-hilir akan dilakukan dengan mengoptimalkan peraturan hukum dan kebijakan pemerintah sebagai landasan legalitasnya.

Salah satu ciri paling menonjol sistem ekonomi kapitalis adalah sangat minimnya campur tangan pemerintah. Semua ditentukan atas kehendak pasar, sedangkan pemerintah cukup berperan memastikan kelancaran keberlangsungannya.

Meski tidak secara terus terang mengakui praktik perekonomian indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalis, tetapi material dan praktik UU Perseroan Terbatas (PT) sudah merepresentasikan keberlakuan sistem ekonomi kapitalis.

Pemerintah memang turut campur mengendalian praktik perekonomian, tetapi pelayanannya masih cenderung memihak kepentingan para pemilik modal besar karena kemampuan aset usaha dan jaringan pasar yang dikuasai, semata karena pengaruhnya memang berdampak terhadap stabilitas perekonomian negara.

Campur tangan pemerintah bahkan diduga kental dengan praktik permufakatan melawan hukum antar-penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara (kolusi). Maupun adanya dugaan praktik perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Nepotisme).

Lemahnya posisi petani tingkat tapak/desa yang secara politik tidak punya posisi tawar melakukan negoisasi transaksi ekonomi dengan pihak konsumen/pembeli, menjadikannya sulit mengikuti persaingan perdagangan bebas. “Patuh dan tunduk dengan ketentuan pasar dan para pemodal adalah keterpaksaan struktural bagi para petani tingkat tapak/desa/adat”.

Implikasinya dengan paparan di atas, kehadiran para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan yang berkegiatan ditingkat tapak/desa, diharapkan bisa memposisikan diri sebagai tengkulak/pedagang penampung yang berkomitmen melindungi dan meningkatkan kesejahteraan para petani dari praktik monopoli-kapitalistik.

Untuk dipahami bahwa teori monopoli mengacu pada pasar dimana satu produsen menguasai pasar dan dapat menentukan harga produk. Pada pasar monopoli, tidak ada barang sejenis dan tidak ada pesaing bagi perusahaan. Monopoli dianggap sebagai kutub ekstrem yang mempengaruhi struktur pasar dan harga.

Sedangkan teori kapitalis adalah paham ekonomi dimana pelaku usaha swasta memiliki dan mengendalikan properti sesuai dengan kepentingan mereka. Sistem ekonomi kapitalis menekankan pentingnya hak individu untuk memiliki dan mengatur sumber daya produksi serta mendapatkan keuntungan darinya.

Kerangka dasar sistem ekonomi kapitalis berasal dari konsep kapitalisme, termasuk konsep Laissez Faire dan prinsip Invisible Hand yang dipaparkan Adam Smith. Sistem ekonomi kapitalis memberikan kebebasan penuh kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan ekonomi demi memperoleh keuntungan. Praktik ekonomi kapitalis merupakan sistem yang bersaing penuh dalam kegiatan ekonomi, tanpa campur tangan pemerintah.

Setidaknya ada empat ciri sistem ekonomi kapitalis, yaitu (1) Sangat minimnya campur tangan pemerintah. (2) Diakuinya kepemilikan individual atas faktor-faktor produksi. (3) Kebebasan masyarakat berinovasi yang diakui dan dihormati. (4) Menganut sistem keadilan, yaitu setiap orang menerima imbalan berdasarkan prestasi kerjanya.

Berdasarkan fenomena dan peluang yang ada ditingkat tapak/desa/adat, strategi yang bisa dilakukan adalah menjadi pengurus BUMDes atau membangun kelembagaan ekonomi sejenisnya, menerapkan sistem perdagangan secara adil dengan semangat saling melindungi dan menguntungkan antar anggota dan pengurus, dengan komitmen membeli dan menjual hasil panen/produksi warga desa untuk peningkatan kesejahteraan bersama.

Tujuan dari konsep dan praktik “kapitalisme kaki lima BUMDes atau kelembagaan ekonomi sejenisnya” adalah mendapatkan keuntungan bagi pemiliknya. Kapitalisme juga menciptakan banyak inovasi karena produsen berinovasi agar produk berkualitas dan dicari oleh pembeli dengan harga yang bersaing.

Keteladanan prilaku para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan diatas merupakan wujud skenario “Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik”. Suatu tindakan nyata ketika melihat ketidakadilan, dengan bekal pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan, berani bertindak mengambil alih peran strategis-politis sebagai pelaku ekonomi ditingkat tapak/desa/adat.

Menuju Skenario Sosialis-Religiositas

Sistem ekonomi kapitalis pada prinsipnya menjalin tiga kebebasan, yaitu kebebasan secara harta individual/perorangan, kebebasan melakukan kegiatan ekonomi, dan kebebasan bersaing atau berkompetisi itu, sejatinya tidak sesuai penerapannya sebagaimana kebiasaan atau budaya yang berlaku bagi warga masyarakat di tingkat tapak/desa/adat.

Semangat hidup dan kehidupan warga bangsa indonesia dalam membangun dan mempertahankan kemartabatan keluarga hingga klan dari berbagai etnis/adat yang ada, sejatinya dilandasi semangat gotong royong, saling membantu, membangun dan menciptakan skenario praktik jaminan sosial berbasis kekerabatan.

Nilai-nilai keswadayaan sebagai modal semangatnya dalam bekerja dan sangat bangga menjadi petani/pekebun/penambang dengan segala potensinya yang bisa memberi jaminan/garansi kesejahteraan dan kebahagiaannya selama ini, pelan-pelan pupus dan hilang tanpa bekas karena praktik sistem ekonomi kapitalis.

Meski demikian, sejarah peradaban masyarakat di tingkat tapak/desa/adat harus tetap berjalan. Meracik skenario alternatif untuk menata ulang praktik sistem ekonomi “berbasis kompromi struktural” untuk mengembalikan nilai-nilai keswadayaan sebagai modal semangat bekerja dan bangga menjadi petani/pekebun/penambang harus dilakukan, apapun resiko yang harus dihadapi.

Pemaduan praktik sosialis-religiusitas akan dijalankan setelah subyek pelakunya berhasil merebut peluang pengelolaan modal SDA dan penguasaan jaringan pasar, sehingga skenario berbagi keuntungan usaha bisa diterapkan dengan tujuan kesejahteraan kolektif berbasis keadilan secara proporsional.

Untuk dipahami bahwa sosialisme adalah ideologi politik yang menghendaki terwujudnya masyarakat yang tersusun secara kolektif agar menjadi masyarakat yang bahagia. Paham ini mentitikberatkan perjuangan kepada masyarakat dan bertujuan untuk membentuk negara yang memberlakukan usaha kolektif dan membatasi kepemilikan secara perorangan.

Ideologi sosialis yang mengarah kebersamaan dan kesejahteraan itu akan tumbuh dan berkembang secara sempurna, apabila menyertakan dan menempatkan nilai-nilai religiositas sebagai landasan cara berfikir dan berkehendak. Tidak ada lagi keserakahan individual, karena semangat solidaritas sosial telah tumbuh menjadi kesadaran intelektualitasnya.

Indikator religiusitas menurut Glock & Stark dalam bukunya yang berjudul “American Piety: The Nature Of Religious” yang dikutip oleh Ancok dan Suroso, menegaskan bahwa religiusitas adalah simbol dari dimensi keagamaan dalam diri manusia yakni, Dimensi Keyakinan, Dimensi Peribadatan, Dimensi Pengetahuan, Dimensi Pengalaman, dan Dimensi Penghayatan.

Kelima dimensi tersebut, penjabaran Dimensi Pengalaman relative relevan dengan peran yang dimainkan Ormas sosial-keagamaan PBNU dan PP Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah mengelola konsesi tambang. Dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasikan oleh ajaran agamanya didalam kehidupannya.

Berkaitan dengan perasaan Keagamaan yang dialami oleh penganut agama. Dalam ilmu psikologi disebut juga Religius experience atau pengalaman Agama yang mana dari perilaku sehari-hari dari ucapan, sikap, dan perbuatan seseorang. Dengan demikian, secanggih apapun sistem yang dibangun, tidak akan berarti apa-apa jika orang-orang didalamnya hanya pandai memanipulasi, tidak bertanggung jawab, dan sebagainya.

Munurut pandangan setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari sebagai abdi dan khalifah dimuka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, islam, dan ihsan dalam arti berakhlak karimah.

Sedangkan pandangan NU bahwa kemuliaan seseorang ditentukan oleh kemuliaan akhlaknya. Sebuah sistem akan berjalan dengan baik bila diisi orang-orang yang memiliki akhlak atau amal yang baik pula. Seperti halnya jabatan, status sosial, dan kekayaan tak menjamin sang pemilik lantas terhormat bila gemar merendahkan orang lain, menyakiti, berbuat sewenang-wenang, tidak memperdulikan orang lain, beranggapan selalu benar, dan lain-lain.

Fenomena berdasarkan studi kasus praktik kelola tambang oleh BUMN yang selalu merugi, dan perusahaan swasta yang cenderung mengabaikan restorasi lingkungan pasca tambang selama ini, setidaknya dengan kehadiran Ormas sosial-keagamaan diposisikan sebagai antitesis pembuktian peluang alternatif yang bisa menguntungkan dan peduli dengan kelestarian lingkungan.

Bagi kedua Ormas sosial-keagamaan ini, kebutuhan finansial untuk kesejahteraan konstituennya menjadi tanggung jawab sosial-ekonomi-politik yang dihadapi setiap saat. Oleh karenanya, peluang membuka lapangan pekerjaan dan koneksitas skema usaha hulu-hilir dalam skala mikro-makro, yang juga terhubung dengan proses produksi dan pemasaran hasil pertanian dan perkebunan rakyat, tentunya bisa dilakukan dengan semangat cinta tanah, kelestarian bumi, dan kemaslahatan umat.

Negosiasi dan memobilisasi pemerintah desa dan warga desa/adat sangat memungkinkan dilakukan dengan pendekatan kemanusian, keadilan, dan kesejahteraan, sebagaimana PBNU dan PP Muhammadiyah membangun, mengelola, mengembangkan, dan mengayomi jamaah dan seluruh aset material yang dimiliki kedua Ormas sosial-keagamaan itu selama ini.

Dalih pembenar dengan meyakinkan niatan luhur bagi para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan yang ingin disampaikan kepada warga desa/adat, adalah memposisikan diri sebagai subjek pelaku pembanding dengan pihak BUMN dan perusahaan swasta yang menjadi pelaku sebelumnya, dengan maksud ingin memperjuangkan hak konstitusionalnya sebagai warga bangsa.

Keteladanan prilaku para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan yang dilakukan diatas merupakan tahapan “Menuju Skenario Sosialis-Religiusitas”. Suatu tindakan nyata untuk menjawab tantangan ketika melihat ketidakadilan, dengan bekal pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan, berani bertindak dan mengambil alih peran strategis-politis sebagai penyeimbang sekaligus pembuktian untuk menjawab keraguan dan ketidakperyaan dimata publik secara luas.

Jika cita-cita ideal di atas bisa diwujudkan secara masif-progresif, maka stigmatisasi soal ego-sektoral diantara NGO, Ormas sosial-keagamaan, dan Organisasi Gerakan Sosial-Budaya-Ekonomi-Lingkungan itu menjadi tidak terbukti kebenarannya, seperti yang diinginkan para Oligark selama ini.

Selamat Merenung Sejenak dan ......
Salam Perubahan Untuk Keadilan, Kelestarian, dan Kesejahteraan.

Bahan bacaan:
1. https://www.kompas.com/skola/read/2023/09/17/070000469/pengertian-sistem-ekonomi-kapitalis--ciri-dan-contohnya#google_vignette
2. https://etheses.iainkediri.ac.id/1466/3/932120915%20-%20BAB%20II%20.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun