Prilaku Idealis-Pragmatis
Ketersediaan ragam potensi SDA dengan hasil panen yang melimpah di tingkat tapak/desa, sesungguhnya bisa menjadi berkah atau sebaliknya musibah secara struktural. Musibah karena sistem dan praktik perdagangan belum menghargai dan melindungi hasil pekerjaan dengan berbagai masalah yang harus dihadapi dan dijalankan para petani/pekebun/penambang petani.
Peran pemerintah, pengusaha, tengkulak, dalam faktanya belum sepenuhnya bisa/berani memberi jaminan kepastian untuk membeli hasil panen para petani dengan harga yang bisa memberi motivasi agar lebih bersemangat meningkatkan kwalitas mutu dan hasil produksi panen petani dimasa-masa selanjutnya.
Permasalahan soal ketersediaan dan harga pupuk, persyaratan sertifikasi dan kwalitas hasil panen, hingga persyaratan legalitas kelembagaan, semuanya dibebankan dan harus dilakukan petani dengan kontribusi modal sosial-material yang harus dikeluarkan tanpa ada pengganti secara signifikan dari pihak manapun.
Walaupun ada program bantuan pemerintah atau keterlibatan/pendampingan NGO dengan berbagai programnya, harus diakui bahwa semuanya masih belum signifikan dengan konsekwensi dampak sosial-politik-budaya secara jangka panjang dalam kehidupan warga masyarakat desa/adat.
Berdasarkan paparan di atas, sejatinya ada peluang dan kesempatan bagi para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan yang beraktifitas ditingkat tapak/desa/adat berbuat dan merebutnya sebagai pelaku bisnis berbasis social enterpreneur. Upaya memposisikan peran sebagai pelaku bisnis ini merupakan terjemahan dari prilaku idealis-pragmatis atas situasi yang terjadi di tingkat tapak/desa/adat saat ini.
Prinsip idealisme menurut teori Hegelian, simpulannya bisa ditafsirkan bahwa semua realita harus disepadankan dengan subjek, sehingga untuk mewujudkannya juga harus mementingkan rasio. Relatif berat dan rumit untuk menterjemahkan sekaligus merealisasikan teori Hegelian ini.
Tafsir dari simpulan kalimat di atas bisa dimaknai maksudnya bahwa “ketidakberdayaan para petani bukan karena malas, tetapi sistem kapitalis yang menjadikannya tidak berdaya secara struktural. Untuk membela dan me-merdeka-kan petani harus, diperlukan strategi pemberdayaan alternatif sekaligus memposisikan diri sebagai pengayom dan mediator aspirasi para petani/pekebun/penambang petani”.
Sedangkan tindakan konkrit bagi para anggota/kader aktivis NGO dan Ormas sosial keagamaan untuk mewujudkan sebagaimana tafsir teori Hegelian di atas, pilihan salah satunya bisa dengan cara memperjuangkan dan mewujudkan dengan segera agar WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) bisa dikeluarkan untuk kepetingan koperasi masyarakat desa/adat. Lebih baik menyetor pajak secara resmi untuk kontribusi APBN pemerintah, daripada harus “bayar upeti kepada para preman berseragam”.
Peluang kemungkinan lainnya, bisa dengan cara memberi keteladanan melalui berbagai kegiatan/pekerjaan nyata dengan berbagai contoh keberhasilannya. Dengan demikian para petani/pekebun/penambang bisa langsung meniru dan mengikuti langkah-langkah menuju keberhasilan demi peningkatan kesejahteraan hidup para petani/pekebun/penambang.
Keteladanan prilaku para aktivis kader/anggota NGO atau Ormas sosial-keagamaan diatas merupakan wujud skenario “Prilaku Idealis-Pragmatis”. Suatu tindakan nyata ketika melihat ketidakadilan, dengan bekal pengetahuan, kesadaran dan keyakinan, berani bertindak mengambil alih peran strategis-politis untuk melindungi dan meningkatkan nilai potensi SDA dikelola para petani/pekebun/penambang di tingkat tapak/desa/adat.
Merebut Praktik Monopoli-Kapitalistik
Praktik penerapan sistem perdagangan bebas dalam sistem kapitalis, telah menguntungkan sekaligus menguatkan para pemilik modal berikut jaringan pasar yang mereka kuasai. Konsekwensi logis dari pola dan sistem ini, mendegradaskan eksistensi petani gurem ditingkat tapak/desa/adat yang menguasai alat produksi (lahan/kebun berikut hasil panen) secara mayoritas.
Alat produksi menjadi tidak lagi memberi jaminan hidup sejahtera bagi petani, karena tidak mampu menghadapi persaingan dan persyaratan dari sistem kapitalis. Fenomena ini menjadi semakin tragis, katika pemilik modal berupaya menambah jumlah/luasan aset alat produksi dengan berbagai cara, ingin menguasai dan mengendalikan rantai pasok dan rantai pasar dengan skema monopoli.
Setiap pelaku bisnis tentu berupaya keras ingin meningkatkan nilai usaha yang dijalankan. Semangat itulah yang memicu skenario monopoli untuk merespon praktik perdagangan dalam sistem kapitalis. Penguasaan dan pengamanan bahan baku hingga pengelolaan dan pemasaran produk hulu-hilir akan dilakukan dengan mengoptimalkan peraturan hukum dan kebijakan pemerintah sebagai landasan legalitasnya.
Salah satu ciri paling menonjol sistem ekonomi kapitalis adalah sangat minimnya campur tangan pemerintah. Semua ditentukan atas kehendak pasar, sedangkan pemerintah cukup berperan memastikan kelancaran keberlangsungannya.
Meski tidak secara terus terang mengakui praktik perekonomian indonesia menerapkan sistem ekonomi kapitalis, tetapi material dan praktik UU Perseroan Terbatas (PT) sudah merepresentasikan keberlakuan sistem ekonomi kapitalis.