Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Nature

Skema Hutan Desa: Alat Negosiasi Politik Sekaligus Solusi Ketahanan Pangan dan Climate Change

5 September 2024   18:14 Diperbarui: 5 September 2024   18:16 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah selayaknya "pengelola Hutan Desa (HD) berani negosiasi secara radikal" karena kontribusi politiknya secara langsung berupaya menjawab masalah "ketahanan pangan" dan "climate change". Menagih haknya untuk biaya politik mengelola dan menjaga kawasan hutan negara.

Skema HD merupakan salah satu skenario Perhutanan Sosial dengan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utamanya.

Sedangkan tafsir dari "sistem pengelolaan hutan lestari" bisa diartikan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga keseimbangan lingkungan dengan melindungi potensi biodiversity, terciptanya keadilan sosial dan ekologi, serta terjaganya dinamika sosial budaya masyarakat tempatan.

Selayaknya Pemdes yang mengelola kawasan HD itu, bagi warga desa tempatan berhak merdeka seratus persen, terbebas cengkraman tengkulak berikut hutangnya. Andai ada projek apapun dan siapapun operatornya, skema kolaborasinya harus dengan FPIC/PADIATAPA.

Amanah politik yang diterima mereka sejatinya sarat dengan konsekwensi berupa resiko konflik internal antar warga desa, maupun tekanan dari pihak luar desa yang dengan sengaja beraktifitas dalam wilayah HD yang diberi mandat mengelola dan menjaga kelestariannya.

Setidaknya Pemdes dan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) sebagai pengelola kawasan HD butuh modal sosial-material maupun pengetahuan hingga penguasaan keahlian khusus tertentu dalam menjalankan tanggung jawab politiknya secara reguler dan jangka panjang.

Penguasaan keahlian khusus yang harus dikuasai LPHD dalam mengelola, menjaga dan mempertahankan kawasan HD dimaksud, minimal berkenaan dengan (1) Manajemen kelembagaan, (2) Strategi resolusi konflik tenurial, (3) Mitigasi konflik satwa liar dengan manusia, (4) Monitoring satwa liar, dan (5) Identifikasi Biodiversity.

Hak Politik Desa

Secara geografis, Desa merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang punya kewenangan mengurus dan mengatur sendiri kepentingan masyarakatnya berdasarkan hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan.

Interaksi sosial-ekonomi-budaya warga desa sekitar kawasan hutan yang bergantung pada potensi SDA hutan itu, fenomenanya mengalami penurunan secara kwalitas-kwantitas, bahkan teruduksi peluang aksesnya akibat dampak kebijakan politik sektor kehutanan.

Melalui penerapan kebijakan Perhutanan Sosial, setidaknya menjadi celah politis bagi warga desa meraih kembali hak-hak politik komunal dan jaminan sosial dalam kehidupannya yang disediakan semesta alam, meski ada ragam konsekwensi politis yang harus dihadapi.

Hak atas bawaan/kepunyaan yang melekat sejak desa ada, dengan kuasanya untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain manapun, yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya.

Pihak KemenLHK tidak cukup hanya memberi kepercayaan Pemdes dan LPHD mengelola kawasan hutan negara, yang berdasarkan sejarah adat-budayanya telah mewasiatkan sebagai warisan politik nenek moyangnya untuk mencukupi kebutuhan dasar bagi seluruh warga desa.

Pemerintah juga tidak bisa menghindar dari tanggung jawab politiknya, yaitu mengalokasikan anggaran biaya politik menjaga kelestarian biodiversity, menjaga praktik pendudukan kawasan secara illegal, perburuan satwa liar dilindungi, serta kegiatan illegal logging dan illegal maining.  

Realisasi program Perhutanan Sosial harus menerapkan pola pendanaan seperti skema "Dana Alokasi Khusus (DAK)" yang diberikan langsung kepada Pemdes dan LPHD secara reguler, seperti pemerintah pusat menugaskan pemerintah daerah menjaga dan merawat aset negara.

Berkah atau Musibah

Pemdes yang mendapat kepercayaan KemenLHK mengelola HD bisa "menjadi berkah atau sebaliknya musibah". Menjadi berkah jika berdampak positif bagi warga desanya, tetapi menjadi musibah karena justru menambah masalah baru dan berpotensi menjadi konflik laten.

Ketika proses penyiapan, pengusulan hingga persetujuannya tidak diberikan pemahaman beserta gambaran konsekwensi logis-politis berupa tanggung jawab selama mengelola dan menjaga kawasan HD, maka berbagai persoalan baru akan menyertainya kelak.

Harmonisasi warga desa akan hancur dan bahkan terbelah menjadi beberapa kelompok yang saling curiga dan iri apabila pendistribusian peluang dan kesempatan mengikuti berbagai program kegiatan/pelatihan yang diselenggarakan pihak tertentu terjadi secara tidak merata.

Konflik diprediksi menjadi semakin pelik bahkan secara terbuka antar sesama warga, apabila ada bantuan barang/alat produksi yang seharusnya menjadi aset bersama bagi seluruh warga desa, tetapi keberadaannya justru berada dalam kekuasaan individu/kelompok tertentu.  

Oleh karenanya, kehadiran para pendamping yang mengawal kebijakan Perhutanan Sosial itu, sejatinya "bisa menjadi motivator, idiolog, atau sebaliknya justru menanamkan mental pengemis" apabila salah dalam menempatkan peran dan posisinya selama berinteraksi.

Idealnya para pendamping harus melakukan 3 (tiga) hal, Pertama, mengoptimalkan tata kelola kelembagaan antar institusi internal Pemdes, Kedua, mengoptimalkan kapasitas pengetahuan dan skill dalam menjalankan mandat KemenLHK, Ketiga, ideologisasi cara negosiasi secara bermartabat atas kedaulatannya.

Berkah bagi Pemdes bila potensi HD dioptimalkan sebagai peluang menjadi entrepreneur oleh "Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS)" yang pengelolaannya dilakukan dengan benar dan profesional berbasis jasa lingkungan dan komoditas unggulan secara berkelanjutan.

Kata entrepreneur diambil serta diadopsi dari Bahasa Perancis yaitu entreprendre. Kata ini memiliki arti to undertake atau "melakukan, memulai, atau berusaha mengatur dan mengorganisir sesuatu".

Joseph Schumpeter, ahli ekonomi dari Austria, mendefinisikan entrepreneur "orang dengan keinginan serta kemampuan untuk merombak sistem perekonomian, mencetuskan ide-ide baru, dan mewujudkan inovasi sukses melalui temuan ciptaan baru".

Setidaknya ada 4 (empat) bentuk inovasi yang biasanya dicetuskan seorang entrepreneur, antara lain (1) Produk baru baik barang ataupun jasa, (2) Sistem pengoperasian manajemen baru, (3) Sistem produksi baru, dan (4) Penggunaan bahan baku yang baru.

Keempat peluang untuk menjadi entrepreneur itu, sesungguhnya sangat memungkinkan jika bisa mengoptimalkan potensi ketersediaan SDM dan SDA dalam internal desa yang mampu menjalankan mandat mengelola kawasan HD secara konsisten, kreatif dan profesional.  

Setidaknya dengan kemampuan Pemdes dan LPHD mengkreasi peluang inovasi di desanya, diharapkan menarik perhatian para generasi milenial-zelenial terbaik desa yang merantau di kota pulang kampung, bertarung merintis diri menjadi entrepreneur handal dikemudian hari.

Potensi penyerapan tenaga kerja dan peluang bisnis alternatif ini menjadi fenomena menarik, ketika sedang marak terjadi "Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia". Data Kemnaker mencatat korban PHK mencapai 44.195 orang per pertengahan Agustus 2024.

Menjawab Ketahanan Pangan dan Climate Change

Penyematan analogi "seperti lingkaran setan" itu, setidaknya relevan untuk menggambarkan penanganan masalah "ketahanan pangan" dan "climate change". Kedua masalah itu saling terkait pengaruhnya, ketika harus memilih prioritas penanganan yang dilakukan lebih dahulu.

Saat ini, yang menjadi pertanyaan kritisnya adalah "Dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan?"

Sementara itu, untuk memacu tercapainya peningkatan ketersediaan bahan pangan lokal, nasional, global, dibutuhkan kondisi stabil atas kondisi iklim untuk menunjang kebutuhan waktu tanam hingga panen sesuai siklus pergantian cuaca alam secara alamiah.  

Dasar ketahanan pangan harus berarti menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan jaminan setiap individu memperoleh pangan. Simpulan ini didasarkan atas pendapat Amartya Sen bahwa persoalan kelaparan tidak semata akibat kurangnya makanan, tetapi lebih karena ketiadaan akses orang miskin atas pangan.

Argumentasi Amartya Sen tersebut sejalan dengan pendapat FAO yang mendefinisikan ketahanan pangan sebagai "keadaan ketika semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat".

Untuk diketahui bahwa tragedi kemanusian yang diakibatkan masalah ketahan pangan sejatinya sudah terjadi sejak perang dunia pertama. Paparan FAO membagi  4 (empat) periode, yakni 1930--1945, 1945--1970, 1970--1990, dan 1990 hingga sekarang. Fenomena setiap periodenya, setidaknya ditandai dengan situasi dan kondisi spesifik tertentu.

Awal mula penggulliran konsep ketahanan pangan tahun 1935 berdasarkan paparan hasil survey yang berjudul "Nutrition and Public Health" dengan gambaran yang memperlihatkan tentang situasi kekurangan pangan di negara-negara miskin.

Paparan material survey menegaskan bahwa ada korelasi antara konsep ketahanan pangan dengan situasi kelaparan dan kekurangan gizi dunia. Kondisi ini telah memaksa Liga Bangsa-Bangsa mengadakan pertemuan untuk membahas kebijakan gizi bagi berbagai negara.

Berkenaan dengan persoalan climate change, menurut PBB, perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini mungkin alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Sedangkan Menurut World Wildlife Fund (WWF), definisi perubahan iklim adalah perubahan pola iklim global atau regional yang disebabkan oleh meningkatnya kadar gas rumah kaca di atmosfer sejak Revolusi Industri, akibat penggunaan bahan bakar fosil.

Sedangkan dampak perubahan iklim yang bisa dicegah relevansinya dengan pengelolaan kawasan HD, bisa ditafsirkan sebagai kontribusi melakukan upaya pengendalian, sehingga kepunahan spesies yang berdampak besar pada ekosistem dan rantai makanan tidak terjadi secara ekstrem.

Upaya pengendalian sebagaimana dimaksud, adalah mencegah punahnya berbagai spesies makhluk hidup dengan cara menjaga dan mempertahankan habitatnya dari berbagai gangguan, sehingga tetap bisa bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan suhu dan alam.

Selain itu, kontribusi nyata lainnya adalah berupaya mencegah terjadinya kebakaran hutan dalam kawasan HD yang dikelolanya. Hutan merupakan produsen oksigen sekaligus sebagai paru-paru bumi, yang membantu menyerap gas rumah kaca yang menjadi penyebab terjadinya pemanasan global.

Korelasi saling bergantung antara ketahanan pangan dan climate change bisa diantisipasi dengan local wisdom melalui praktik pengetahuan pangan lokal, sistem pertanian, hukum adat, teknologi pengelolaan alam, hingga kemampuan membaca makna musim tanam.

Dengan kecakapan membaca tanda-tanda alam itu, mereka mampu mensiasati cara menghadapi perubahan cuaca yang sangat berpengaruh terhadap proses penanaman hingga pemanenan hasil pertanian yang dilakukan serentak dengan semangat bergotong-royong.

Keterkaitan antara suhu udara dengan perubahan iklim yang berpengaruh dampak terhadap pertumbuhan tanaman yang sudah biasa mereka hadapi saat ini, tentu mengajarkan banyak cara mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi dan yang harus dihadapi.

Kepiawaian local wisdom memahami peran unsur cuaca dalam fisiologis tanaman yang pada akhirnya akan berpengaruh pada produktifitas dan produksi tanaman itu, setidaknya mereka sudah sangat paham menentukan waktu paling tepat melakukan aktifitas bertani/kebunnya.

Simpulan

Tidak ada makan siang gratis. Tagline ini sangat relevan bila ada gugatan Pemdes dan LPHD kepada pemerintah untuk mendapat hak material-politisnya karena semangat dan militansinya sebagai wujud pengabdiannya menjaga dan mengelola kawasan Hutan Desa.

Negara melalui pemerintah kementeriannya yang seharusnya bertanggung jawab menjaga dan mengelola kawasan hutan negara, dengan menggunakan dalih mengakomodir aspirasi rakyat, sejatinya telah memberi beban politis kepada rakyat dan Pemdes menjaga kawasan hutan negara.

Keberhasilan Pemdes dan LPHD menjaga kawasan HD dari kebakaran hutan, kegiatan illegal logging dan minning, degradasi dan deforestasi kawasan hutan, pendudukan/penguasaan kawasan hutan negara secara massif-illegal, hingga terjaganya kondisi dan potensi biodiversity dan tindakan perburuan satwa liar dilindungi, tentu pemerintah akan mendapat apresiasi hingga ganjaran berupa dana hibah maupun dana hasil perdagangan carbon dari warga dunia.

Jika fenomena politik di atas benar adanya, maka secara politik sudah selayaknya "pengelola Hutan Desa berhak atas haknya" memperoleh dana operasional reguler untuk biaya menjaga kawasan hutan negara yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemdes dan LPHD.

Salam Hutan Lestari Rakyat Sejahtera

Bahan bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun