Upaya menggiring opini publik dengan menyakinkan stigmatisasi curang terhadap Parpol yang memenangkan kontestasi Pilkada atau Pilpres itu, sama halnya dengan tindakan Parpol memberikan pendidikan politik negatif kepada rakyat, hingga mereduksi nasionalisme warga bangsa.
Rakyat atau kelompok politik tertentu diajarkan untuk saling merendahkan, saling bermusuhan, hingga prilaku menyalahkan pemerintah penguasa yang sah dan konstitusional tanpa ada argumen dan jastifikasi politik berbasis putusan hukum yang berlaku sah.
Fenomena lain terkait praktik menciderai demokrasi dibuktikan dengan adanya pimpinan Parpol yang merasa paling berjasa dan memiliki saham terbesar terhadap negara-bangsa ini. Ada keinginan agar publik menilai kecerdasan dan popularitasnya dengan langkah strategi politik yang diskenariokan.
Tidak muncul jiwa kesatria yang bisa dijadikan "cermin politis bangsa" bagi para elite dan kader Parpol, tetapi justru mengajarkan hingga mewariskan dendam politik antar kader Parpol, maupun antar konstituen pendukung para calon yang diusung Parpol.
Orientasi Kekuasaan Semata
Fenomena politik lainnya selain mewariskan prilaku menyimpang dalam menjaga nilai-nilai demokrasi itu, adalah karena mahalnya biaya politik mengelola dan mempertahankan eksistensi Parpol demi mempertahankan nilai tawar eksistensi Parpol dan para elite Parpol.
Memang relatif besar biaya operasional dalam mengelola Parpol. Meski sudah mendapat subsidi dari APBN, tentu tidak cukup untuk seluruh biaya operasional yang dibutuhkan. Persoalan ini yang memicu Parpol harus mencari sumber dana tertentu agar bisa menjalankan mandat konstitusi masing-masing Parpol.
Konsekwensi politis untuk mencukupi biaya operasional partai akan berpengaruh pada orientasi setiap Parpol melakukan politik transaksional. Dibalik kursi kekuasaan yang diraih setidaknya ada ganjaran projek bisnis yang menyertai kemudian.
Sedangkan narasi yang dieksploitasi untuk meyakinkan para kader dan konstituen pendukungnya, maka basis argumentatif-politisnya menggunakan jastifikasi politik bahwa tujuan dibentuk Parpol adalah untuk merebut dan mengendalikan kekuasaan.
Memang tidak ada yang salah cara Parpol menyakinkan kader partai dan kelompok politik konstituennya itu, karena langkah yang ditempuk tidak melanggar undang-undang yang berlaku. Meskipun, secara etis-politik telah menciderai nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.
Sistem Ambang Batas
Ketika proses perebutan kekuasaan berlangsung, Parpol tunduk dan patuh dengan ketentuan sistem ambang batas atau threshold. Suatu aturan mengenai batas minimal suara atau kursi yang diperoleh untuk memperoleh hak dalam gelaran kontestasi Pilkada atau Pilpres.
Konsekwensi politik dengan ketentuan ambang batas ini, tafsir politiknya bisa berarti bahwa demokrasi secara sadar dan sistemik bisa diciderai secara konstitusional. Praktik negosiasi dan lobbi politik untuk membentuk koalisasi partai memang dimungkinkan secara konstitusional.
Untuk memenangkan kontestasi atau mengganjal usungan calon kontestan lawan, setidaknya Parpol telah menyiapkan skenario melalui rekayasa politik dengan strategi negosiasi tertentu. Isi negosiasi akan sarat dengan praktik bagi-bagi kekuasaan paska kontestasi dimenangkan.
Konsekwensi dampak dengan tercapainya strategi negosiasi hingga mampu meyakinkan kalkulasi politik untuk memenangkan kontestasi, akan berpeluang menghasilkan koalisi mayoritas Parpol. Dampak politis ikutannya adalah dengan tidak terpenuhinya syarat ambang batas terhadap usungan kandidat Parpol lainnya.
Koalisi partai menjadi solusi akhir yang dilakukan agar parpol bisa berpartisipasi dalam kontestasi Pilkada atau Pilpres. Selama proses final hingga terciptanya koalisi parpol inilah yang pada akhirnya publik disuguhkan drama berikut gesture politik para elite parpol yang seolah praktik demokrasi telah dijalankan secara wajar.