Mahar Politik Parpol
Akibat penerapan sistem "ambang batas atau threshold" ini, secara politik berdampak bagi setiap kader internal atau calon non-kader Parpol menyediakan dana/biaya politik mendapatkan surat rekomendasi Parpol pengusung. Konseksekwensi kedua, terjadinya transaksional kekuasaan saat membangun koalisi Parpol untuk memenuhi syarat threshold.
Dampak politis dari "praktik mahar politik" dan proses "negosiasi transaksi kekuasaan" yang berakhir gagal terpenuhi, setidaknya dua fenomena politik itu bisa ditafsirkan sebagai "upaya menciderai demokrasi" sekaligus berpotensi "melahirkan kotak kosong" dalam perhelatan kontestasi Pilkada atau Pilpres.
Sudah menjadi rahasia umum soal dugaan praktik mahar politik bagi calon Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden yang harus disetor kepada pimpinan Parpol, meskipun calon tersebut berasal dari kader internal atau calon non-kader Parpol untuk mendapat surat rekomendasi Parpol pengusung.
Tidak mengherankan kalau ada seorang Bupati, Walikota, atau Gubernur harus berakhir sebagai narapidana lembaga pemasyarakan, akibat dari kebijakan yang dijalankan atau praktik jual beli jabatan untuk mendapatkan dana taktis yang disiapkan untuk mahar politik atau membayar hutang selama proses kontestasi Pilkada.
Mahar politik seakan menjadi syarat mutlak meski tidak tertulis, tetapi menjadi keharusan agar bisa diusung sebagai kandidat kontestasi Pilkada. Fenomena politis ini bahkan sudah menjadi budaya politik yang buruk dalam menjaga marwah demokrasi.
Krisis figur kader Partai
Fakta politis mengenai krisis figur kader partai saat ini, juga bisa ditafsirkan bahwa Parpol telah gagal menjalankan mandat politik yang diberikan oleh rakyat. Kegagalan Parpol ini merupakan tindakan sistemik yang diduga memang sengaja menciderai demokrasi yang berpotensi melahirkan skenario kotak kosong dalam Pilkada.
Eksistensi partai dengan pembiayaan APBN yang sebagian berasal dari pajak rakyat itu, ternyata tidak menjalankan mandat rakyat sepenuhnya secara profesional dan proporsional. Parpol sebagai mesin politik harusnya bertanggung jawab mencetak calon pemimpin bangsa yang berorientasi visioner.
Tidak heran dan kaget kalau selama ini Parpol harus mengusung kandidat kontestannya sebagai calon Bupati/Walikota, Gubernur, dan Presiden yang merepresentasikan sebagai "kader partai instan". Kandidat tersebut bahkan mendapat stigmatisasi secara satir dengan julukan "anak kost"
Kader partai instan tentu tidak murni sebagai kader internal partai terbaik, tetapi justru mengusung kandidat yang berstatus kader non-partai, atau menyetujui kandidat kader dari partai lain, hasil negosiasi koalisi partai beserta muatan transaksi kekuasaan yang disetujui.
Simpulan
 Idealnya perhelatan pesta demokrasi dalam kontestasi Pilkada atau Pilpres harus diikuti minimal dua kandidat. Pertarungan ide gagasan lewat program kerja strategis-populis harus ditonjolkan, dengan mengkedepankan cara mengelola pemerintahan dengan visioner dan demokratis.
Apabila ada skenario "kotak kosong sebagai lawan politik" dalam gelaran kontestasi Pilkada atau Pilpres, maka potret politik itu sesungguhnya sedang menunjukkan fenomena politik gagalnya proses dan praktik demokrasi pada daerah atau wilayah pemerintahan tertentu.
Fenomena di atas setidaknya relavan dengan konsep demokrasi prosedural-liberal yang hanya menekankan "demensi politik atau demokrasi politik". Konsep demokrasi politik, dalam sejarahnya telah mendapat kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme.