Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Skenario Parpol Ciderai Demokrasi dan Kotak Kosong

13 Agustus 2024   01:54 Diperbarui: 13 Agustus 2024   02:13 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mahar Politik Parpol

Akibat penerapan sistem "ambang batas atau threshold" ini, secara politik berdampak bagi setiap kader internal atau calon non-kader Parpol menyediakan dana/biaya politik mendapatkan surat rekomendasi Parpol pengusung. Konseksekwensi kedua, terjadinya transaksional kekuasaan saat membangun koalisi Parpol untuk memenuhi syarat threshold.

Dampak politis dari "praktik mahar politik" dan proses "negosiasi transaksi kekuasaan" yang berakhir gagal terpenuhi, setidaknya dua fenomena politik itu bisa ditafsirkan sebagai "upaya menciderai demokrasi" sekaligus berpotensi "melahirkan kotak kosong" dalam perhelatan kontestasi Pilkada atau Pilpres.

Sudah menjadi rahasia umum soal dugaan praktik mahar politik bagi calon Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden yang harus disetor kepada pimpinan Parpol, meskipun calon tersebut berasal dari kader internal atau calon non-kader Parpol untuk mendapat surat rekomendasi Parpol pengusung.

Tidak mengherankan kalau ada seorang Bupati, Walikota, atau Gubernur harus berakhir sebagai narapidana lembaga pemasyarakan, akibat dari kebijakan yang dijalankan atau praktik jual beli jabatan untuk mendapatkan dana taktis yang disiapkan untuk mahar politik atau membayar hutang selama proses kontestasi Pilkada.

Mahar politik seakan menjadi syarat mutlak meski tidak tertulis, tetapi menjadi keharusan agar bisa diusung sebagai kandidat kontestasi Pilkada. Fenomena politis ini bahkan sudah menjadi budaya politik yang buruk dalam menjaga marwah demokrasi.

Krisis figur kader Partai

Fakta politis mengenai krisis figur kader partai saat ini, juga bisa ditafsirkan bahwa Parpol telah gagal menjalankan mandat politik yang diberikan oleh rakyat. Kegagalan Parpol ini merupakan tindakan sistemik yang diduga memang sengaja menciderai demokrasi yang berpotensi melahirkan skenario kotak kosong dalam Pilkada.

Eksistensi partai dengan pembiayaan APBN yang sebagian berasal dari pajak rakyat itu, ternyata tidak menjalankan mandat rakyat sepenuhnya secara profesional dan proporsional. Parpol sebagai mesin politik harusnya bertanggung jawab mencetak calon pemimpin bangsa yang berorientasi visioner.

Tidak heran dan kaget kalau selama ini Parpol harus mengusung kandidat kontestannya sebagai calon Bupati/Walikota, Gubernur, dan Presiden yang merepresentasikan sebagai "kader partai instan". Kandidat tersebut bahkan mendapat stigmatisasi secara satir dengan julukan "anak kost"

Kader partai instan tentu tidak murni sebagai kader internal partai terbaik, tetapi justru mengusung kandidat yang berstatus kader non-partai, atau menyetujui kandidat kader dari partai lain, hasil negosiasi koalisi partai beserta muatan transaksi kekuasaan yang disetujui.

Simpulan

 Idealnya perhelatan pesta demokrasi dalam kontestasi Pilkada atau Pilpres harus diikuti minimal dua kandidat. Pertarungan ide gagasan lewat program kerja strategis-populis harus ditonjolkan, dengan mengkedepankan cara mengelola pemerintahan dengan visioner dan demokratis.

Apabila ada skenario "kotak kosong sebagai lawan politik" dalam gelaran kontestasi Pilkada atau Pilpres, maka potret politik itu sesungguhnya sedang menunjukkan fenomena politik gagalnya proses dan praktik demokrasi pada daerah atau wilayah pemerintahan tertentu.

Fenomena di atas setidaknya relavan dengan konsep demokrasi prosedural-liberal yang hanya menekankan "demensi politik atau demokrasi politik". Konsep demokrasi politik, dalam sejarahnya telah mendapat kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun