Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontemplasi Politis Soal Demokrasi dan Keadilan Menuju Indonesia Emas 2045

21 Februari 2024   23:34 Diperbarui: 7 Mei 2024   02:46 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merawat Demokrasi dan Keadilan

Kata merawat itu punya konsekwensi menjaga dan meningkatkan. Mengupayakan secara serius dan konsisten untuk menempatkan nilai demokrasi ditempat seharus dan sebenarnya. Jika menelisik dinamika proses dialog menuju keputusan final tertentu yang bisa diterima secara nalar itu, maka akar budaya tentang musyawarah dan mufakat itu sejatinya manivestasi dari bagian dari proses demokrasi itu sendiri. Indonesia menamakannya menjadi demokrasi Pancasila sebagai ciri khasnya.

Abraham Lincoln (12 Februari 1809 -- 15 April 1865) merupakan figure pemimpin bangsa yang menjaga demokrasi. Seorang Presiden Amerika Seikat ke-16 yang berhasil memimpin bangsanya keluar dari perang saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa dan menghapuskan perbudakan, meski pada akhirnya harus menghadapi pembunuhan terhadap dirinya.

Demokrasi menurutnya dimaknai dengan suatu sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari pengertian demokrasi tersebut bisa disimpulkan bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan negara.

Perspektif politik kontemporer yang terjadi dalam praktik demokrasi di Indonesia, berdasarkan tafsir dari kalimat "rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan negara" itu, representasi politiknya telah diwakilkan kepada para anggota Legislatif dan Presiden beserta wakilnya yang dipilih melalui mekanisme pemilu Pilleg dan Pilpres.

Relevansinya dari simpulan di atas, setidaknya relevan dengan pernyataan "International Commissionof Journalist" yang menyebutkan bahwa "demokrasi merupakan suatu bentuk sistem pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik melalui wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui sebuah pemilihan yang bebas tanpa paksaan".

Tantangan untuk menjaga demokrasi tidak boleh pesimis. Semangat optimisme harus dikobarkan setiap saat dan harus percaya pada peran penting demokrasi itu sendiri. John Jeffries Martin, profesor sejarah dari Duke University, dalam artikelnya yang ditulis di Washington Post, pada 21 Mei 2019 lalu dia memberi judul "Why Study History? Because It Can Save Us from Democratic Collapse".

Jika orang mau belajar sejarah demokrasi, khususnya sejarah gagasan demokrasi dari para Founding Fathers, orang akan mendapatkan bekal kuat dalam menghadapi berbagai tantangan demokrasi yang memang selalu ada di dalamnya. Statemen John Jeffries Martin tegas bahwa "setiap manusia adalah pembuat sejarah, terlepas dari status sosial, ras, atau gender. Setiap manusia punya kemampuan secara individu maupun kolektif menjaga kebebasan dirinya dan kebebasan manusia lain yang menjadi landasan demokrasi".

Formula demokrasi melahirkan mekanisme checks and balances yang memunculkan keseimbangan, tidak lahir dari angan-angan kosong. Bahkan seorang humanis Nicolo Machiavelli (awal abad 16), setelah mempelajari jatuh bangunnya kekuasaan republik yang pernah ada di Roma, menyimpulkan bahwa kestabilan kekuasaan republik hanya akan terjadi jika kekuasaan tidak dikonsentrasikan pada satu lembaga saja.

Salah satu seruan Machiavelli dalam tulisannya berjudul "Discourses on the First Ten Decades of Livy" adalah pentingnya mengawasi bentuk-bentuk kekuasaan klasik seperti monarki, aristokrasi, dan teokrasi. Jika salah satu dari ketiganya menjadi terlalu kuat, hal itu adalah jalan munculnya tirani.

Kebrutalan para politisi,  elite parpol dan elite birokrat bertindak demi kekuasaan yang ingin selamanya digenggamnya, bahkan telah menyeret paksa elemen civitas akademisi berpolitik praktis. Fenomena situasi politik yang berhasil memprovokasi para Guru Besar akademisi, purnawirawan TNI-Polri, Asosiasi Kades, dan para mantan aktivis pro-demokrasi itu, bersuara yang sama dalam sikap politiknya dengan mendalihkan ada kemunduran bahkan suatu upaya mematikan demokrasi secara sistemik. Kemasan narasi-narasi sarkasme dengan mudahnya terlontar, seakan demokrasi di Indonesia sudah benar-benar hancur.

Apabila benar ada pernyataan bahwa demokrasi dan keadilan sudah hacur, sejatinya siapa paling bertanggung jawab atas kehancurannya? Untuk memastikan demokrasi bisa berjalan ideal, ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Mayoritas rakyatnya sudah cerdas, kritis dan berpendidikan cukup. Sadar dan paham soal hak dan kewajibannya secara hukum-politik, relative kecil jumlah warga yang berstatus dibawah sejahtera.

Untuk konteks transparansi dan akuntabilitas, harus juga memastikan para pengusaha menjalankan bisnisnya dengan benar dan bersih, dan aparat ASN sadar tupoksinya dan tidak korupsi. Peran dan posisi Parpol menjalankan tanggung jawabnya melakukan pendidikan politik rakyat, proses peradilan berjalan adil dan tegas, hingga keberadaan para Hakim Agung dan Hakim Konstitusi tidak diangkat oleh Presiden (Eksekutif) tetapi hasil keputusan lembaga Legislatif. 

Jika ada masalah soal budaya politik terkait pola perilaku masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, norma kebiasaan masyarakat) yang terciderai, maka subyek pelakunya akan mengkerucut pada Presiden beserta para pembantunya dan para politisi Parpol secara berjamaah. Sedangkan yang memilih presiden beserta wakilnya dan para politisi yang duduk diparlemen adalah warga negara melalui mekanisme pesta demokrasi pemilu Legislatif lima tahunan.

Pertanyaannya kemudian? sejauh mana komitmen dan kesadaran kritis-politis mayoritas warga bangsa menjaga demokrasi dan keadilan saat berlangsungnya pemilihan umum (Pileg dan Pilpres) dengan (1) berani menolak praktik politik uang, (2) komitmen para pihak/petugas pemilu menolak bersekongkol melakukan kecurangan, dan (3) komitmen anggota Timses mengedukasi warga pemilih? Jika ketiga hal ini tidak terpenuhi, maka rusaknya demokrasi Indonesia menjadi sempurna karena prilaku warga bangsa itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun