Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontemplasi Politis Soal Demokrasi dan Keadilan Menuju Indonesia Emas 2045

21 Februari 2024   23:34 Diperbarui: 7 Mei 2024   02:46 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi politik menjelang kontestasi pesta demokrasi pemilihan presiden (Pilpres) 2024 relatif rusuh. Ruang public dikotori berbagai prilaku social yang mengabaikan netralitas politis, hingga kesantunan social dalam menjaga demokrasi dan keadilan secara takzim. Public mempertontontan prilaku saling menegasikan, mengolok-olok, merendahkan martabat personal, hingga saling melecehkan para calon pemimpin negara sesuai mekanisme legal-formal berdasar aturan konstitusi.

Ada lima indikator untuk mengukur demokrasi tetap eksis, yakni terselenggaranya proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, berfungsinya pemerintahan dan partisipasi politik, serta budaya politik. Apakah kelima indicator itu masih berlangsung di Indonesia saat ini?

Pro-kontra soal penilaian salah satu calon wakil presiden (Cawapres) cacat politis, menempuh cara tidak etis, kecurigaan independensi-profesionalitas Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), setidaknya potret krusial politik kebangsaan ini telah mempengaruhi keyakinan public dengan mempersepsikan demokrasi dan keadilan di Indonesia sedang dilemahkan secara sistematis oleh rezim penguasa.

Luapan kemarahan public menjadi tidak terelakkan, menilai putusan MK cacat etik karena kepentingan politik rezim penguasa dengan melibatkan unsur keluarga. Fenomena krisis kepercayaan public semakin sempurna, ketika ada sikap resistensi public terhadap lembaga penyelenggara Pemilu, yang dimanivestasikan melalui gugatan kepada KPU, hingga Bawaslu mengeluarkan keputusan memberi "sanksi berat terakhir" kepada ketua KPU.

Sebagai warga bangsa yang taat dan patuh konstitusi, tentu tidak punya pilihan lain selain menjalankan dan menghormati aturan hukum yang berlaku. Kebenaran dan kesalahan menjadi tidak absolut lagi, karena pembuat dan pelaksana aturan hukum (legislative dan eksekutif) berada pada subyek pelaku dengan agenda politik kekuasaannya, hasil pilihan rakyat melalui mekanime pemilihan umum (pilleg dan pilpres).    

Meski public kecewa dan situasi politik relative tidak kondusif, semuanya sirna dan tidak ada lagi pengaruh politiknya, ketika proses penyelenggaraan negara harus tetap berjalan sesuai mekanisme dan jadwal yang sudah ditetapkan. Mengapa? karena tujuan utama pesta demokrasi 2024 adalah memilih pemimpin nasional (eksekutif) dan wakil rakyat (legislatif), untuk melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai mandat konstitusi.

Chauvinisme Versus Nasionalisme

Kekecewaan public seakan terwakili melalui statemen pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra soal "cacat hukum serius" atas putusan Mahkamah Konstitusi, yang mengabulkan sebagian batas usia capres dan cawapres. Statemen itu menjadi pemantik munculnya sikap yang mendekati semangat Chauvinisme para pendukung Capres-Cawapres.

Chauvinisme merupakan bentuk kesetiaan yang ekstrem dan digunakan suatu pihak tanpa ada upaya mempertimbangkan atas pandangan dari pihak yang lain. Pencirian dari sikap dan prilaku kesetian ekstrem inilah yang diterjemahkan dengan semangat membela dan melakukan pembelaan dari para pendukung Paslon Capres-Cawapres dengan berbagai cara dan kreasi politiknya.

Mengolok, menghina, memfitnah, mendeskriditkan, lewat metsos dan atau melalui media tertentu kepada para calon pemimpin bangsa yang sedang berkontestasi, menjadi kebanggan dan kebiasaan baru atas nama demokrasi. Para pelakunya seolah menjadi pahlawan karena telah menjaga marwah demokrasi. Prilaku social ini sejatinya jauh dari adab dan tata krama bangsa Indonesia. Kesantunan dan semangat saling bergotong royong merupakan nilai luhur yang sampai hari ini merawat dan menjaga ke-Bhineka Tunggal Ika-an bangsa Indonesia.

Akibat dari Chauvinisme ini memunculkan ragam prilaku militan, dengan berbagai cara dan sikap politisnya, bisa dalam bentuk dukungan secara mambabi-buta Capres-Cawapres pilihannya, hingga mengabaikan esensi pesta demokrasi itu sendiri.

Menjadi tidak penting lagi soal pandangan Hakim Konstitusi yang memutus perkara dengan komposisi tiga hakim setuju, dua hakim concurring opinion (setuju dengan putusan hanya saja beda pendapat), dan empat hakim disenting opinion (pendapat berbeda atau tidak setuju dengan putusan) dengan pikiran jernih. Putusan hakim MK adalah bersifat final dan mengikat (final and binding). Karena posisi lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi adalah tertinggi dan terakhir, sehingga putusan MK tidak dapat diubah, dan tidak bisa diajukan upaya hukum.

Secara politik, sikap Chauvinisme ini pada situasi dan kondisi tertentu mamang dibutuhkan, selama tidak mempengaruhi soal nasionalisme terhadap masa depan dan kedaulatan bangsa negaranya. Sedangkan nasionalisme, sebagaimana definisinya adalah "Perasaan kebangsaan atau cinta terhadap bangsanya yang sangat tinggi dan berlebihan sehingga memandang rendah terhadap bangsa lain". Nasionalisme dalam arti luas adalah "Perasaan cinta yang tinggi atau bangga terhadap tanah air dan tidak memandang rendah bangsa lain".

Kontribusi politik untuk menyatakan cinta dan bangga terhadap negara-bangsa, bisa ditunjukkan dengan sikap kritis terhadap prilaku para elite birokrat penyelenggara pemerintahan, maupun politisi parlemen sebagai pengontrol kinerja eksekutif. Jika ada Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang berpotensi merusak tatanan demokrasi dan keadilan, maka wajib bagi warga dan komponen bangsa melawan secara kritis dan militan.

Akan tetapi, jika krisis kepercayaan terhadap pemerintah penguasa dilakukan secara berlebihan dengan cara maupun tindakan yang mengabaikan aturan dan mekanisme hukum yang berlaku, juga tanpa disertai dengan praktik prilaku diri yang tidak demokratis berikut keteladanannya, maka sikap politik public ini secara politis bisa dinilai sebagai tindakan yang berkontribusi menghancurkan negara-bangsanya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun