Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Filosofi "Merdeka" dalam Tafsir "Kemerdekaan" Sejati

16 Agustus 2023   03:13 Diperbarui: 17 Agustus 2023   05:45 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), secara etimologi MERDEKA berarti bebas, sedangkan KEMERDEKAAN adalah kebebasan. 

Sedangkan secara terminologi, definisi kata merdeka adalah (1) bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya; (2) tidak terkena atau lepas dari tuntutan; dan (3) tidak terikat, leluasa, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Merdeka yang berarti bebas itu, tafsir kontemporernya bisa berarti bebas dan terbebas dalam perspektif politis, psikologis, berpikir, dan berekspresi, interaksi sosial, hingga bisnis/berusaha dari berbagai tekanan dengan praktik dan bentuk negosiasi apapun. Tidak ada lagi "kata TAPI" dari setiap pilihan keputusan, karena kata tersebut telah mereduksi kesejatian nilai independensi kebebasan itu sendiri.

Novel berlatar roman sejarah "Burung-Burung Manyar" karya Y.B. Mangunwijaya yang sarat dengan pembelajaran soal konflik batin dan nilai pendidikan karakter yang ditandai dengan potret pemberontahan cara berpikir secara terbalik, mungkin saja relevan dengan judul tulisan yang diangkat dalam artikel opini ini. 

Setidaknya cara pensikapan yang diperankan tokoh kontroversial seorang laki-laki keturunan asli Indonesia yang berpihak kepada Belanda, dibanding berpihak kepada Indonesia, negaranya sendiri itu, bisa merepresentasikannya.

Statemen pengamat sastra H.B. Jassin terhadap novel ini, tafsirnya bisa diartikan dengan pesan moral-sosialnya soal nasionalisme dan kemerdekaan yang sesungguhnya. 

Keberanian analisisnya dengan cara mengejek diri secara lugas itu, sejatinya sebagai suatu tanda kedewasaan jiwa. 

Sedangkan tafsir atas pendapat Jakob Sumardjo, bahkan sampai berani menggambarkan keberanian individu melalui narasi yang mengisahkan konflik jiwa seorang anti-republik pada masa revolusi.

Kemerdekaan manusia dalam Islam itu, pada ghalibnya telah diperoleh sejak ia dilahirkan ibunya, dan oleh karena itu tidak seorangpun dibenarkan memperbudaknya atas dasar kekuasaan apapun. 

Keyakinan Islam ini dipraktikkan Nabi melalui perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan melalui segala cara yang paling memungkinkan.

Oleh karenanya, manusia merdeka yang bisa mengoptimalkan kemerdekanaannya berkreasi tanpa rasa takut resiko apapun untuk mewujudkannya. Keyakinan itu tumbuh bergelora, ketika proses dan langkah yang ditempuh sudah memenuhi kelaziman sesuai standar etika sosial. Berani melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan dalam setiap praktik kehidupan sosial-ekonomi-politik, baik yang dijalankan pemerintah, warga masyarakat, pihak swasta, mapun badan hukum tertentu, tanpa harus mengkalkulasi untung rugi hingga konsekwensi dampak yang dihadapi.

Tafsir merdeka secara politis itu harus berani menolak dan melawan praktik politik kotor saat menyambut hajatan pesta demokrasi lima tahunan. 

Menghadang kecurangan proses pemilu legislatif maupun Pilpres dengan basis perlawanan secara rasionalitas dan logis, sehingga bisa bebas menentukan pilihan politik sesuai kata hati secara jujur. 

Pikiran yang rasional dan logis menjadi syarat untuk bisa melawan pengaruh siapapun yang mengarahkan keyakinan diri, agar bisa dikalahkan dan tunduk dengan praktik politik identitas yang ditawarkan.

Memandang kemerdekaan melalui kacamata agama adalah universal, karena semakin kuat pemahaman seorang manusia terhadap penghambaanNYA itu, maka itulah kemerdekaan yang sejatinya. 

Tafsir dalam penghambaan tersebut, secara tidak langsung menafikan ketergantungannya kepada system politik yang ada, karena aturan yang ada dan berlaku bukan berbasis keimanan, tetapi kesepakatan yang bersifat sementara.

Merdeka secara psikologis itu berarti mampu melepaskan perasaan hati dan pikiran negatif dari sikap iri dan dengki terhadap kesuksesan seseorang maupun pikiran curiga kepada anggota keluarga, tetangga, kawan, rekanan kerja, hingga pimpinan sekalipun dengan "sikap permakluman dan ilmu tega" sehingga bisa menjalani kehidupan sosial politik dengan "prilaku bergembira" untuk meraih kesuksesan yang dibalut keberkahan. Percaya bahwa siapa yang menabur benih kebaikan, kelak akan memanen balasan setimpal.

Praktik sikap permakluman dituntut bisa memaklumi siapapun mereka yang menciderai nilai dan etika ketika terkoneksi secara langsung dalam interaksi social. Memaklumi karena latar belakang pengetahuan dan wawasan mereka yang terbatas, atau karena ada persoalan hidup yang sedang menimpanya.

Sedangkan penerapan ilmu tega kepada kawan/sahabat/rekanan/keluarga/pimpinan, semata karena niatan untuk mengingatkan agar tidak semakin terjerumus dengan kesalahan yang dilakukannya. 

Praktik ilmu tega ini tentu ada konsekwensi yang harus ditanggung, dan siap menghadapinya tanpa harus mengkalkulasi dampak yang ditimbulkan.

Relevansinya dengan roman sejarah Burung-Burung Manyar dalam konteks ini, setidaknya akan terpotret secara terang benderang ketika memasuki alur cerita lebih dalam. 

Akan ditemukan pesan moral dengan mengupas nilai-nilai pendidikan dan nasionalisme sejati, yang dikemas lewat gambaran pengetahuan dan pengalaman manusia tentang pola perilaku dan pola pikir manusia secara renik.

Secara semantik, gagasan dasar yang dianggap menonjol di dalam novel ini adalah soal ketidaksiapan secara mental dan psikologis seseorang untuk menerima kenyataan hidup, masalah dendam hati, masalah cinta tak sampai, hingga  masalah keberadaan politik bangsa Indonesia ketika zaman penjajahan Belanda, Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Merdeka dalam berpikir dan berekspresi secara berseberangan dengan sudut pandang berbeda dari khalayak umum memang berisiko. Konsekuensi penyematan stigma tertentu yang dilekatkan pihak tertentu, bisa berpengaruh dampak terhadap peran dan posisi politis pelakunya. Jika bisa menerima konsekuensi itu secara sadar, maka dirinya akan tetap bisa berfikir dan bertindak dengan leluasa, tanpa harus takut menghadapi dampak apapun, semata karena cara berfikir dan bertindak secara tidak lazim atau terbalik.

Relevansinya dengan karya novel Burung-Burung Manyar, setidaknya dalam bagian alur ceritanya mampu memberi gambaran tentang simbolisasi bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru. Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada.

Nasionalisme bagi Y.B. Mangunwijaya bermakna penciptaan identitas Indonesia. Penciptaan kembali Nation Building yang harus menyertakan berbagai kemungkinan, sekalipun dari kutub yang paling ekstrem dengan lahirnya seorang pembelot yang dalam bahasa politik praktis memposisikan diri sebagai oposan paling radikal sekalipun.

Merdeka dalam berinteraksi social itu praktiknya bisa dilakukan melalui cara dan gaya bersikap, bertindak, berbicara, hingga cara berkomunikasi dengan siapapun. Pelaku tidak peduli dengan usia ataupun status sosial hingga jabatan yang melekat dalam dirinya, karena nilai kemerdekaannya terletak pada kebebasan berekspresi atau mengekspresikan pikiran, skill dan kreatifitas yang dikuasainya kepada siapapun. Apapun stigma yang dilekatkan sebagai dampak prilakunya, bukan lagi masalah secara prinsip bagi dirinya.

Setidaknya sama halnya dengan filsafat, bahwa ada empat penjara yang dialami manusia sejak lahir ke dunia, diantaranya penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat dan penjara ego. 

Manusia yang merdeka dan yang bisa merasakan kemerdekaannya secara hakiki, ditandai ketika mereka mampu keluar dari empat penjara itu.

Sedangkan analisis kemerdekaan dari sudut pandang sastra yang menjadi bagian terpenting dalam proses pengasahan jiwa setiap individu itu, pada hakekatnya tidak terpisahkan dari upaya pemenuhan dan peningkatan kemampuan mengendalikan batin dengan rasa dan cinta. Kemerdekaan melalui kacamata sastra adalah metanarasi yang diciptakan agar makhluk berlomba-lomba mengejarnya.

Praktik merdeka dalam perspektif bisnis/berusaha itu, setidaknya bisa ditandai dengan tumbuh berkembangnya para pelaku bisnis yang terbebas urusan pinjaman modal maupun pelunasan hutang. Atau skala prosentase pelaku bisnis kelas menengan ke bawah lebih besar dari pelaku bisnis kelas menengah ke atas. Artinya, dengan kwantitas itu maka akan semakin kecil peluang terjadinya praktik monopoli bisnis, sehingga fenomena ini bisa dijadikan indicator bahwa praktik merdeka dalam perspektif bisnis/berusaha telah terwujudkan.

Bahkan, andaikata para pelaku bisnis kelas menengan ke bawah mampu mengoptimalkan hak politisnya atas subsisdi yang diberikan pemerintah dan konsisten menjalani dan memenuhi kewajibannya sesuai aturan yang berlaku, maka bisa dinilai bahwa praktik merdeka dalam perspektif bisnis/berusaha sudah benar-benar bisa menikmati kemerdekaannya.

Sebagaimana halnya dengan eksistensi para pegiat NGO yang mendapat dana hibah, jika berani melakukan negosiasi tawaran projek yang disesuaikan dengan visi-misi organisasinya tanpa harus tunduk sepenuhnya dengan target capaian sesuai keinginan pihak pemberi dana hibah, maka sejatinya praktik merdeka dalam perspektif bisnis/berusaha dari para pegiat NGO sudah benar-benar terpenuhi indikatornya.

Indicator merdeka dalam perspektif bisnis/berusaha juga bisa berhasil realisasinya, apabila para pimpinan/direktur perusahaan (swasta/BUMN) menjalankan praktik bisnis usaha tanpa harus memanipulasi pajak, menyuap proses mendapat persetujuan izin, bisa memenuhi seluruh kewajiban sesuai persyaratan yang ditentukan, mampu menjalankan praktik bisnis berbasis aturan yang berlaku, hingga ada keberanian melakukan perlawanan pihak pemberi izin yang tidak menjalankan kewajibannya secara konsisten.

Jika seseorang ataupun badan hukum tertentu belum mampu melakukan sikap dan prilaku sebagaimana paparan narasi dari keseluruhan ulasan di atas dalam menjalani kehidupan social-politisnya, maka bisa disimpulkan bahwa siapapun mereka itu dengan segala atribut status social-politik-budaya yang melekat dalam eksistensinya, belum menjawab "Filosofi Merdeka Dalam Tafsir Kemerdekaan Sejati".

Salam Merdeka Republik Indonesia 2023

Bahan Bacaan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun