Setuju atau terpaksa, mendukung atau membangkang, percaya atau menyesal, setidaknya seluruh aspirasi politik warga bangsa ini, sudah dititipkan kepada 711 (Tujuhratus Sebelas) anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024.
Komposisi anggota MPR yang terdiri dari 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu, mewakili masa depan 273,87 juta berdasarkan data Dukcapil Kemedagri.
Demokrasi adalah sebuah sistem alternatif yang menjadi tatanan aktivitas masyarakat dan negara. Hampir semua negara menerapkan sistem demokrasi. Kata demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, demos artinya rakyat dan cratos bermakna kekuasaan atau kedaulatan.
Sangat relevan untuk mengkritisi paham demokrasi yang dilontarkan Philippe C. Schmitter seorang ilmuwan politik Amerika yang mengkhususkan diri dalam politik komparatif, dan Terry Lynn Karl seorang Profesor Ilmu Politik yang juga mengkhususkan diri dalam politik komparatif di Departemen Ilmu Politik di Universitas Stanford.
Mereka berdua mendefinisikan Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka diwilayah publik oleh warganegara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih.
Memaknai penggalan kalimat ".... yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang terpilih ...." tersebut, tafsirnya bisa berarti dengan penerapan sistem politik representative bagi konstituen Parpol kepada politisi yang didukung.
Konsekwensi "sistem politik representative" telah memposisikan anggota MPR sebagai pemegang tiket masuk dan berhak menggunakan modal (uang saku) yang diperoleh dari konstituen untuk memainkan kartu dalam rumah judi.
Upaya membangun kesepakatan politik melalui lobby, negosiasi, koalisi, hingga memobilisasi antar anggota MPR dengan dugaan cara politik dagang sapi, atau memutuskan sebagai OPOSISI, secara politis bisa ditafsirkan dengan "analogi tiket masuk dan rumah perjudian".
Dugaan rekayasa politik soal klaim elite birokrat, pimpinan parpol, maupun anggota Legislative mengenai tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi dengan wacana penundaan Pemilu hingga masa jabatan Presiden 3 (tiga) periode, adalah "analogi perjudian politis" yang tak terbantahkan.
Transaksional antar pimpinan partai menjelang hajatan pesta demokrasi tanpa ada mekanisme komunikasi politik dalam menjaring aspirasi, hingga memperoleh persetujuan konstituen, tafsirnya bisa dimaknai sebagai bentuk manipulasi kepercayaan politis konstituen Parpol.
Mengapa? karena semuanya dilakukan tanpa ada konsultasi konstituen berjenjang, tanpa ada pendidikan politik secara sistemik paska hajatan Pemilu, tanpa ada kaderisasi secara gradual-masif, tetapi mereka dengan leluasa bertindak sepihak.