Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Skenario Kebijakan Perhutanan Sosial: Secara Politik Siapa yang Diuntungkan?

12 Agustus 2020   17:47 Diperbarui: 12 Agustus 2020   18:09 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati". Setidaknya pribahasa ini relevan dengan skenario kebijakan Perhutanan Sosial yang sedang marak diusulkan masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat secara mandiri, atau dengan promotor atau pendampingnya masing-masing.

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Ada 5 (lima) skema yang ditawarkan, yaitu (1) Hutan Desa (HD), (2) Hutan Kemasyarakatan (HKm), (3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR), (4) Hutan Adat (HA), dan (5) Kemitraan Kehutanan (KK).

Terlepas cukup tidaknya luasan kawasan hutan yang dicadangkan KemenLHK periode 2015-2019, dengan mengalokasikan 12,7 juta hektare berdasarkan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS, yang bisa diajukan masyarakat untuk perhutanan sosial.

Tujuan perhutanan sosial sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Permenhut.No.P.83/2016 adalah untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

Setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang ingin disasar tujuan perhutanan sosial, yaitu (1) menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan, (2) masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, (3) kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

Masalah tenurial yang umum terjadi ditingkat tapak, menyangkut soal pengakuan penguasaan Kawasan hutan/lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan, maupun pihak KPH. Bagi masyarakat, masalah tenurial dianggap selesai, jika mendapatkan status hak milik. Bukan hak kelola sesuai tawaran pemerintah melalui beberapa skema di atas.

Dalam konteks politik pertanahan, skenario kebijakan perhutanan sosial ini, bisa diartikan sebagai tujuan antara. Minimal bisa meredakan konflik struktural yang bersifat laten, dengan label pihak pemerintah/Kemenlhk cenderung berpihak demi kepentingan para pengusaha, ketimbang masyarakat setempat/adat.

Setidaknya, scenario perhutanan sosial merupakan "strategi kebijakan politik jalan tengah" untuk kepentingan politik masyarakat setempat/adat, dan kepentingan ekonomi bagi para investor, serta kepentingan pemerintah dalam peningkatan pendapatan negara.

Implikasinya dengan eksistensi masyarakat hukum adat, maka, bagaimana dengan Kabupaten yang belum membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang masyarakat hukum adat? Secara politis, keberadaan Perda bisa menjadi pintu masuk penyelesaian kasus tenurial dan keadilan bagi masyarakat hukum adat secara legal dan permanen.

Apabila belum ada Perda masyarakat hukum adat ini, maka tujuan perhutanan sosial untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat hukum adat hanyalah sebatas ilusi politik semata.

Tantangan lain adalah bagaimana bisa menjadikan skenario perhutanan sosial menjadi bagian prioritas pembangunan pemerintah daerah secara jangka panjang. Perhutanan sosial masih belum terjadi di sebagian besar provinsi di Indonesia.

Perhutanan sosial masih dipandang sebagai program nasional, dan pemerintah provinsi dan kabupaten belum menjadikannya sebagai bagian program prioritas pembangunan ekonomi daerah, sehingga tidak teranggarkan di APBD untuk mendukung implementasi di tingkat tapak.

Melalui cermatan bahasan di atas, apakah skenario kebijakan politik ini sudah bisa memenuhi tujuan untuk keadilan? Dalam konteks realisasi skema perhutanan sosial, maka tafsir "makna suatu keadilan" itu akan terpenuhi, bila pemerintah mewajibkan para pemegang izin konsesi hutan dan tambang bertanggung jawab secara politik-hukum untuk turut serta membiayai proses pengelolaan areal Perhutanan Sosial.

Fakta politisnya bisa dirunut berdasarkan sejarah penguasaan/pengelolaan kawasan hutan/lahan oleh masyarakat setempat/adat secara turun temurun, sebelum diserahkan kepada para pengusaha melalui izin konsesinya setelah ada legalitas berdasarkan klaim negara.

Proses legal pengakuan dan penguasaan negara atas kawasan hutan/lahan ini berlangsung sekitar tahun 1980 melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Diduga, selama proses pelaksanaannya di masa rezim Orde Baru itu, terjadi praktik intimidatif terselubung dan manipulative berita acara pelaksanaannya.

Lahirnya kebijakan TGHK ini dilatari dengan gagalnya proses permudaan Kembali Kawasan hutan paska penebangan di areal HPH karena tidak ada kepastian areal dari gangguan perladangan masyarakat.

Untuk mengamankan batas kawasan ini maka pada tahun 1980 telah dikeluarkan peraturan baru tentang batas kawasan hutan dan peruntukkannya yang ditanda-tangani oleh 3 Menteri (SKB Tiga Menteri). Peraturan ini dinamakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

Keadilan dalam konteks ini, tentunya juga tidak harus melakukan pembiaran jika ada masalah penguasaan kembali lahan oleh masyarakat dengan bukti adat yang diyakini. Meski dalam konteks hukum, tidak terpenuhi secara legal formal sebagaimana ketentuan UU.No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta peraturan turunannya.

Andai solusi jalan tengahnya terpenuhi dengan skema kemitraan, maka sudah menjadi kewajiban politis bagi pihak perusahaan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan dan praktik pengelolaan lahan hingga menampung hasil komoditi yang dihasilkan kemudian.

Untuk dipahami bahwa dana/biaya dan SDM yang dikeluarkan pihak perusahaan ini bukan sebagai bentuk belas kasihan, tetapi merupakan kewajiban hukum atas kompensasi politik yang harus dilakukan secara sadar tanpa paksaan.  

Bagi masyarakat setempat/adat, skenario kebijakan perhutanan sosial ini bisa menjadi "berkah atau musibah". Berkah jika bisa meningkatkan kesejahteraan, keamanan dan kebahagiaan.

Akan tetapi, menjadi musibah, ternyata justru menimbulkan masalah baru. Misalnya konflik antar anggota kelompok, ada anggota masyarakat yang dirugikan, dan menjadi "hutang politis dalam konteks hukum" karena inkonsisten dalam pengelolaanya.

Idealnya dalam pengelolaan PS ini, para pihak penerima SK izin bisa melakukannya dengan kedaulatan politik, kemartabatan budaya, dan kemandirian ekonomi masyarakat desa/adat. Sejatinya potensi itu ada di kelompok masyarakat desa/adat yang bernama budaya gotong royong.

Sehingga, pada akhir keberhasilan atas produk komoditi yang dipanen, lembaga/kelompok pengelola skema perhutanan sosial bisa melakukan negosiasi dengan gagah dan sejajar dengan pihak manapun, dan mampu menjadi pelaku bisnis secara profesional dan proporsional.  

Jika hal di atas tidak mampu dilakukan, maka skenario kebijakan perhutanan sosial bisa dijadikan "legitimasi framing" bagi kelompok masyarakat setempat/adat, yang dengan mudahnya pemerintah/KLHK memberi label mangkir dari tanggung jawab dan kewajibannya sesuai mandate berdasarkan klausul SK izin yang telah diberikan.

Pelabelan masyarakat penerima SK izin ini bisa dijadikan indikator politis tertentu, hingga dijadikan pertimbangan dalam menentukan pola dan strategi kebijakan jangka panjang KemenLHK mensubstitusikan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia.

Untuk antisipasi dan menyelamatkan label negatif di atas, idealnya harus sudah ada skenario pendanaan yang dirancang sebelumnya. Skenario pendanaan bisa di akses dari BLU kementerian, Bank konvensional, hingga lembaga keuangan/investasi internasional dengan pihak penjamin NGO pendamping pemegang izin PS, atau NGO (nasional dan internasional) yang punya dan peduli dengan program Perhutanan Sosial.

Jika ditelisik lebih dalam, harus jujur dikatakan bahwa banyak areal perhutanan sosial belum dikelola dengan maksimal dan konsisten. Ada banyak kasus di tingkat tapak, setelah menerima SK izin dengan skema tertentu, ternyata tidak ditindak lanjuti dengan pengelolaan sesuai ketentuan syarat yang dibuat saat proses pengajuan izin.

Sebagian besar dikarenakan tidak mempunyai biaya/modal yang cukup. Pertanyaannya kemudian, sebenarnya siapa yang diuntungkan dengan terlaksananya skema perhutanan sosial ini? Apakah para aktivis NGO berikut lembaganya yang memposisikan sebagai lembaga pendamping masyarakat pengaju skema perhutanan sosial?

Apakah para individu aktivis NGO dengan skill yang dimilikinya kemudian direkrut sebagai tenaga fasilitator kemenLHK untuk percepatan pencapaian target perhutanan sosial yang prestisius itu?

Apakah para individu akademisi dengan posisinya sebagai konsultan yang diminta jasa intelektualnya oleh pihak perusahaan untuk analisis dan jastifikasinya pada areal konsesi yang diperuntukkan pemanfaatannya dalam skema kemitraan?

Ataukah para pejabat KLHK maupun Dinas Kehutanan Propinsi karena targetnya terpenuhi dengan menerbitkan sejumlah Surat Keputusan (SK) izin dan luasan areal hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat?

Ataukah para pialang lahan yang berhasil memanipulasi dokumen persyaratan dengan mengatasnamakan kelompok masyarakat/badan hukum tertentu, yang pada akhirnya hasil dari pengelolaan areal hutannya hanya untuk segelintir orang saja?

Untuk dipahami bahwa realisasi skema perhutanan sosial tidak boleh berhenti setelah SK Izin diberikan kepada yang berhak. Harus ada tanggung jawab politik yang ditunaikan. Penerima SK Izin dengan menjalankan kewajiban berdasarkan syarat dan kewajibnannya yang disetujui sebelumnya.

Cepat atau lambat, pemerintah/KLHK akan menagih janji kepada para penerima SK Izin atas tanggung jawab politik-hukumnya menunaikan kewajiban sesuai persyaratan yang disetujui sebelumnya.

Jika tidak konsisten dujalankan, fenomena ini akan dijadikan argumen sekaligus jastifikasi politis bagi pemerintah/KLHK untuk mematahkan stigma negatif bahwa pemerintah/KLHK lebih berpihak kepada perusahaan dari pada masyarakat setempat/adat.

Pemerintah/KLHK akan dengan mudah bisa mengatakan masyarakat setempat/adat tidak amanah dan atau tidak mampu menjalankan tanggung jawabnya untuk mengelola Kawasan hutan yang telah diberi penguasaannya.

 

Penulis: Khusnul Zaini, SH. MM.
Advokat dan Aktivis Lingkungan Hidup.

 

Bahan Bacaan :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun